Kamis, 12 Mei 2011

Catatan Perjalanan Emha Ainun

ini contoh puisi religiusnya...

GUSTI,
seperti kapan saja
kami para hamba
tak berada di mana-mana
melainkan di hadapan Mu jua
ini sangat sederhana
tetapi kami sering lupa
sebab mengalahkan musuh-musuh Mu
yang kecil saja, kami tak kuasa

GUSTI,
inilah tawanan Mu
tak berani menengadahkan muka
mripat kami yang terbuka
telah lama menjadi buta
sebab menyia-nyiakan dirinya
dengan hanya menatap hal-hal maya

GUSTI,
cinta kami kepada Mu tak terperi
namun itu tak diketahui
oleh diri kami sendiri
maka tolong ajarilah kami
agar sanggup mengajari diri sendiri
menyebut nama Mu seribu kali sehari
karena meski hanya sehuruf saja dari Mu
takkan tertandingi

GUSTI,
kami berkumpul disini
untuk mengukur keterbatasan kami
melontarkan beratus beribu kata
seperti buih-buih
melayang-layang di udara
diisap kembali oleh Maha Telinga
sehingga tinggal jiwa kami termangu
menunggu ishlah dari Mu
agar jadi bening dan tahu malu
GUSTI,
kami pasrah sepasrah-pasrahnya
kami telanjang setelanjang-telanjangnya
kami syukuri apapun
sebab rahasia Mu agung
tak ada apa-apa yang penting
dalam hidup yang cuma sejenak ini
kecuali berlomba lari
untuk melihat telapak kaki siapa
yang paling dulu menginjak
halaman rumah Mu
GUSTI,
lihatlah
mulut kami fasih
otak kami secerdik setan
jiwa kami luwes
bersujud bagai para malaikat Mu
namun saksikan
adakah hidup kami mampu begitu ?
langkah kami yang mantap dan dungu
hasil-hasil kerja kami yang gagah dan semu
arah mata kami yang bingung dan tertipu
akan sanggupkah melunasi hutang kami
kepada kasih cinta penciptaan Mu ?
GUSTI,
masa depan kami sendiri kami bakar
namun Engkau betapa amat sabar
peradaban kami semakin hina
namun betapa Engkau bijaksana
kelakuan kami semakin nakal
namun kebesaran Mu maha kekal
nafsu kami semakin rakus
tapi betapa rahmat Mu tak putus-putus
kemanusiaan kami semakin dangkal
sehingga Engkau menjadi terlampau mahal
GUSTI,
kamilah pesakitan
di penjara yang kami bangun sendiri
kamilah narapidana
yang tak berwajah lagi
kaki dan tangan ini
kami ikat sendiri
maka hukumlah dan ampuni kami
dan jangan biarkan terlalu lama menanti


***
Puisi ini ditulis oleh penyairnya dengan bahasa yang diusahakan sangat seadanya, yang kira-kira bisa dipahami oleh setiap anak yang baru mengenal sejumlah kata-kata, sebab penyair itu merasa begitu ketakutan bahwa kematiannya akan menjadi sempurna jika ternyata tak seorangpun memahami kata-katanya.



Jangan salah sangka. Ia takut bukan karena kawatir akan kehilangan kepala, melainkan justru ia sangat mendambakan betapa bahagianya kalau pada suatu hari ia kehilangan kepala. Masalahnya - terus terang saja - kepala itu sudah bertengger di atas lehernya hampir tigapuluh tahun. Baginya ini merupakan beban yang teramat berat dan membuat ia merasa tidak normal. Karena teman-temannya yang normal pada umumnya hanya menyangga satu kepala paling lama lima tahun, bahkan ada yang hanya satu dua tahun, malah ada juga yang sesudah dua tiga bulan sudah berganti kepala.



Penyair kita ini sudah menghubungi Tuhan ribuan kali melalui salat, wirit dan tarikat, demi memperoleh kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu sudah ia datangi beratus-ratus dukun, kiai dan kantor ikatan cendekiawan, namun tidak seorangpun sanggup memberinya jawaban yang memuaskan hati. Tuhan sendiri sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini, bahkan sesekali ia merasakan Tuhan seakan-akan bersikap ogah-ogahan terhadap masalah ini.



Matahari selalu terbit dan tetumbuhan tak pernah berhenti mengembang, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaan penyair kita bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah kemandegan. Ayam berkokok tiap menjelang pagi, kemudian manusia bangun dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini sendiri begitu patuh menggantikan siangnya dengan malam dan menggilirkan malamnya dengan siang, tapi manusia hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, manusia habis waktu dan tenaganya untuk mengulangi kebodohan dan keterperosokan yang sama, meskipun mereka membungkusnya dengan perlambang-perlambang baru sambil ia meyakin-yakinkan dirinya atas perlambang itu.



"Ya, Allah", seru penyair kita ini pada suatu malam yang sunyi, "patahkan leherku agar kepalaku menggelinding ke dalam parit, kemudian persiapkan kepala yang baru yang bisa membuatku hidup kembali !".



Bisa dipastikan Tuhan mendengar doa itu, tetapi siapa yang menjamin bahwa Ia bakal mengabulkannya? Bukankah penyair itu sendiri yang dulu meminta kepalanya yang ini untuk menggantikan kepala yang sebelumnya. Apa jawab penyair kita ini seandainya Tuhan mengucapkan argumentasi begini : "Bagaimana mungkin kuganti kepalamu, sedangkan kepala-kepala lain di tanganKu belum punya pengalaman sama sekali untuk bertindak sebagai kepala ? Bukankah untuk menjadi kepala, segumpal kepala harus memiliki pengalaman sebagai kepala sekurang-kurangnya lima tahun ?".



Penyair kita sangat-sangat menyesal kenapa makhluk Tuhan harus hidup dengan syarat mempunyai kepala. Pada mulanya ia hanya badan saja, badan bulat yang seluruh sisi-sisinya sama. Tapi kemudian karena ia kawatir akan disangka sederajat dengan buah kelapa, maka ia memohon kepada Tuhan serta mengupayakan sendiri pengadaan kepala, lantas kaki dan tangan.



Tetapi ternyata inilah sumber utama malapetaka hidupnya. Pada mulanya kepala itu berendah hati dan patuh kepadanya, karena pada dasarnya kepala itu memang tidak pernah ada seandainya ia tidak meminta kepada Tuhan dan mengadakannya.



Kesalahan pertama yang dilakukan oleh penyair ini adalah meletakkan kepala di bagian atas dari badannya, sehingga badannya itu dengan sendirinya kalah tinggi dibanding kepalanya, dan dengan demikian menjadi bawahannya. Hari-haripun berlalu, sampai pada suatu saat ia menyadari bahwa sang kepala ternyata telah mengambil alih hampir semua perannya. Misalnya soal berpikir, sekarang telah dimonopoli oleh kepala. Apa yang harus ia lakukan, kemana harus melangkah, apa yang boleh dan tidak boleh, ditentukan oleh kepala. Ia sendiri dilarang berpikir karena segala gagasan telah disediakan oleh kepala, sedemikian rupa sehingga ia bukan saja tak boleh berpikir, tapi lama kelamaan ia juga menjadi tidak mampu lagi berpikir.



Dulu ia membayangkan, tangan akan menggenggam fulpen atau senapan, jari-jari hendak mengelupas buah nanas atau menyogoki lubang hidung, dialah yang berhak menentukan. Tapi ternyata ketika ada makanan, yang memerintahkan tangan untuk mengambilnya adalah kepala, kemudia diberikannya kepada mulut yang menjadi aparat sang kepala, sedangkan badannya hanya menampung makanan itu, tanpa ikut mengunyah dan merasakan nikmatnya.



Juga ia yakin bahwa apakah kakinya akan melompati sungai atau dipakai untuk menjungkir badan, dialah yang merancang dan memutuskannya. Tapi sekarang segala sesuatunya menjadi jelas bahwa hak itu telah diambil alih oleh kepala, dan ketika ia mempertanyakan hal itu, tiba-tiba saja tangannya yang memegang pentungan menggebugnya, dan kakinya yang bersatu tebal keras menendangnya.



"Wahai Tuhan, pengasuh badan yang menderita", guman penyair kita dengan nada yang penuh kecengengan, "jikapun tanganMu terlalu suci sehingga jijik untuk berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupan hamba-hambaMu, tolonglah Engkau berkorban sekali ini saja, sentuhlah kepalaku, pegang ia dan cabut dariku, kemudian kuusulkan langsung saja dirikanlah kerajaanMu dan Engkau sajalah yang mulai sekarang bertindak sebagai kepalaku".

EMHA AINUN NADJIB

1994

**
dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan

jika itu merupakan salah satu syarat agar pemimpin-pemimpinku

mulai berpikir untu

k mencari kemuliaan hidup,

mencari derajat tinggi dihadapanMu

sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya



dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan

untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku,

untuk menghalau dengki dari bumi

untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri



dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan

demi membayar rasa malu atas kegagalan menghentikan

tumbangnya pohon-pohon nilaiMu di perkebunan dunia

serta atas ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya

menanam pohon-pohonMu yang baru



ambillah hidupku sekarang juga,

jika itu memang diperlukan untuk mengongkosi tumbuhnya ketulusan hati,

kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia



hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini,

jadikan duka deritaku ini makanan

bagi kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan,

asalkan sesudah kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMu



jika untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di hati satu orang hambaMu

diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah

potonglah sepuluh batangku, kemudian tumbuhkan sepuluh berikutnya

seratus berikutnya dan seribu berikutnya,

sehingga lubuk jiwa beribu-ribu hambaMu

menjadi terang benderang karena keikhasan



jika untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan

dibutuhkan kekalahan pada hambaMu yang lain,

maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu

ia menundukkan wajahnya dihadapanMu



jika untuk mengusir muatan kedunguan dibalik kepandaian hambaMu

diperlukan kehancuran pada hambaMu yang lain,

maka hancurkan dan permalukan aku,

asalkan kemudian Engkau tanamkan kesadaran fakir dihatinya



jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan

bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya,

maka sengsarakanlah aku

jika jalan mizanMu di langit dan bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku,

maka unggulkan mereka, tinggikan derajat mereka di atasku

jika syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu

adalah penyadaran akan kegelapan, maka gelapkan aku,

demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu



demi Engkau wahai Tuhan yang aku ada kecuali karena kemauanMu,

aku berikrar dengan sungguh-sungguh

bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang aku dambakan,

bukan keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan,

serta bukan kebahagiaan dan kekayaan yang kuhauskan



demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku,

aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat,

hidupku hanyalah memandangMu

sampai kembali hakikat tiadaku

EMHA AINUN NADJIB

DARI KUMPULAN PUISI "DOA MOHON KUTUKAN" – 1994

**
tombo ati iku ono limang perkoro

kaping pisan, moco Qur'an sa'maknane
kaping pindo, sholat wengi lakonono
kaping telu, wong kang sholeh kumpulono
kaping papat, wetengiro ingkang luwe
kaping limo, dzikir wengi ingkang suwe

salah akwijine sopo biso ngelakoni
insya Allah Gusti Pangeran ngijabahi

**
Delapan hal menjadi hiasan
Bagi delapan macam kegiatan
Waspada, menjadi hiasan bagi kefakiran
Bersyukur, menjadi hiasan bagi kenikmatan
Bersabar, mnejadi hiasan bagi cobaan
Rendah hati, bagi nilai luhur kepribadian
Bijaksana bagi ilmu pengetahuan
Sikap rendah hati, bagi ilmuwan
Disiplin diri, bagi upaya perbaikan
Dan khusyu' pada saat menhadap Tuhan

Tuhanku
betapa bisa kuusapkan tanganku
di lutut Mu yang Maha Rahasia
betapa bisa kuwujudkan cintaku,
jika hati hanya benda.
Tuhanku
Engkau berada di luar
segala yang kubayangkan
meskipun kutahu
Engkau juga berada di dalam.
duh, betapa bisa kupahamkan!
Tuhanku,
bawalah di tangan Mu
diriku yang dungu.

Orang yang tak suka banyak bicara
Maka ia akan meraih derajat kebijakan
Orang yang tak suka banyak pilihan
Ia akan meraih titik ketenangan
Orang yang tak suka banyak makan
Ia akan meraih nikmatnya kebaktian
Orang yang tak suka banyak tertawa
Ia akan meraih cahaya kewibawaan.

Keniscayaan orang-orang berakal
Memilih tujuh perkara melebihi tujuh hal
Lebih baik fakir daripada kaya
Lebih baik dihina daripada dipuja
Lebih baik bersikap rendah hati daripada tinggi hati
Lebih baik kelaparan daripada kekenyangan
Lebih baik kesusahan daripada lupa daratan
Lebih baik direndahkan daripada diagung-agungkan
Dan lebih baik mati berdarma daripada hidup tiada guna.

Apabila seseorang telah dianugerahi
Sepuluh anugerah dari Ilahi
Sungguh ia telah dilindungi
Dari malapetaka yang menyelimuti
Dan termasuk hamba yang dekat dengan Ilahi
Serat memperoleh penghargaan "orang suci"
Pertama, kejujuran abadi disertai ketulusan hati
Kedua, kesabaran sempurna disertai
rasa syukur sepanjang masa
Ketiga, kondisi fakir disertai sikap zuhud
yang selalu hadir
Keempat, tafakur tentang mahluk
disertai lapar yang mengetuk
Kelima, kegelisahan jiwa disertai ketakwaan
pada Sang Esa
Keenam, kesungguhan hati disertai
sifat rendah hati
Ketujuh, ramah tamah disertai dayang
dan penuh kasih
Kedelapan, cinta sejati disertai upaya mawas diri
Kesembilan, ilmu manfaat disertai
kemauan ntuk berbuat
Kesepuluh, iman yang teguh disertai akal yang kukuh.

**
BUKAN KARENA INGIN
Emha Ainun Nadjib

Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi Presiden.

Saya yakin Anda sebenernya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi Camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.

Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.

Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukumNya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib"--bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.

Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.

Detailnya : oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang puinya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa di antara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.

Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia'--maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal--saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.

Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.

Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menyulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan TUhan yang menyembuhkan), atau apapun saja--sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yyang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).

Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Maha Kuasa.

Quoted by Redaksi from :
"Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan", Emha Ainun Nadjib, Zaituna, Jogja, 1999.

88

Tuhanku
tanami ladangku
dengan keinsyafan Adam
ketahanan Nuh
kecerdasan Ibrahim
ketulusan Ismail
kebersahajan Ayyub
kearifan Ya'kub
keadilan Daud
keperkasaan Sulaiman
kesabaran Yunus
kelapangan Yusuf
kesungguhan Musa
kefasihan Harun
kebeningan Khidhir
kesucian Isa
kematangan Muhammad
Tuhanku
tanami ladangku Tuhanku

Quoted by Redaksi from
"99 Untuk Tuhanku",
Emha Ainun Nadjib,
Pustaka, Bandung, 1983, cet.i


**
Hijrah dan Kultus Individu

Oleh EMHA Ainun Nadjib

Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni
oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun
ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap
berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.

Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si
pembeli menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang
ingus, buang air besar, melakukan transaksi, banking, ekspor
impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja, adalah hijrah.

Inti ajaran Islam adalah hijrah. Icon Islam bukan Muhammad,
melainkan hijrah. Muhammad hanya utusan, dan Allah dulu bisa
memutuskan utusan itu Darsono atau Winnetou, tanpa ummat
manusia men-demo Tuhan kenapa bukan Muhammad. Oleh karena itu
hari lahirnya Muhammad saw. Tidak wajib diperingati. Juga
tidak diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir
Muhammad kita ingat dan selenggarakan peringatannya
semata-mata sebagai peristiwa cinta dan ucapan terima kasih
atas jasa-jasanya melaksanakan perintah Tuhan.

12 Rabiul Awal bukan hari besar Islam sebagaimana Natal bagi
ummat Kristiani. Sekali lagi, itu karena Islam sangat
menghindarkan ummatnya dari kultus individu. Wajah Muhammad
tak boleh digambar. Muhammad bukan founding father of islam.
Muhammad bukan pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan.
Tahun Masehi berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, sementara
Tahun Hijriyah berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, yang
merupakan momentum terpenting dari peta perjuangan nilainya.
Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari penyembahan
individu, membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran --
siapa pun dulu yang diutus oleh Tuhan untuk membawanya.
Hijrah adalah pusat jaring nilai dan ilmu. Dari gerak dalam
fisika dan kosmologi hingga perubahan dan transformasi dalam
kehidupan sosial manusia. Manusia Muslim tinggal bersyukur
bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa langsung
dipakai untuk mempermatang cara memasak makanan, cara
menangani pendidikan anak-anak, cara mengurus organisasi dan
negara.

Hijrah Muhammad saw. dan kaum Anshor ke Madinah, di samping
merupakan pelajaran tentang pluralisme politik dan budaya,
juga bermakna lebih esoterik dari itu.

Peristiwa Isra' Mi'raj misalnya, bisa dirumuskan sebagai
peristiwa hijrah, perpindahan, atau lebih tepatnya
transformasi, semacam proses perubahan atau 'penjelmaan' dari
materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya.

Sebenarnya sederhana saja. Kalau dalam ekonomi: uang itu
materi, kalau diputar atau digerakkan atau 'dilemparkan' maka
menjadi enerji. Itu kejadian isro' namanya. Tinggal kemudian
enerji ekonomi itu akan digunakan (dimi'rajkan) untuk
keputusan budaya apa. Kalau sudah didagangkan dan labanya
untuk beli motor: motornya dipakai untuk membantu anak sekolah
atau sesekali dipakai ke tempat pelacuran.

Di dalam teknologi, tanah itu materi. Ia bisa
ditransformasikan menjadi genting atau batu-bata. Logam
menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik, atau apapun.
Tinggal untuk apa atau ke mana mi'rajnya.

Peristiwa isro' bergaris horisontal. Negara-negara
berteknologi tinggi adalah pelopor isro' dalam pengertian ini.
Pertanyaannya terletak pada garis vertikal tahap mi'raj
sesudahnya. Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau
menjadi cahaya. Artinya produk-produk teknologi didayagunakan
untuk budaya kehidupan manusia dan masyarakat yang menyehatkan
jiwa raga mereka dunia akhirat. Kalau garis vertikalnya ke
bawah, berati transform ke atau menjadi kegelapan. Mesiu Cina
diimport ke Eropa menjadi peluru, meriam dan bom. Kita bisa
dengan gampang menghitung beribu macam produk teknologi isro'
pemusnah manusia, perusak mental dan moral masyarakat.

Dalam pengertian umum dan baku selama ini, Isra' Mi'raj selain
merupakan peristiwa besar dalam sejarah, namun pada umumnya
berhenti sebagai wacana dongeng, dan belum digali
simbol-simbol berharganya atas idealitas etos tranformatif.

Dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan rumus di atas,
segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia-baik di
bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya-terjadi
secara berputar membentuk bulatan. Yang sehari-hari sajapun:
badan kita (materi), tentu, jika tidak diolah-ragakan
(dienergikan), mengakibatkan tidak sehat. Tidak sehat adalah
kegelapan.

Setelah badan kita sehat dan menyehatkan, lantas dipergunakan
untuk kegiatan yang baik, yang memproduk cahaya bagi batin
kehidupan kita, serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi sesama
manusia dan alam-lingkungan.

**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar