Kamis, 17 Februari 2011

Asyiknya menikah muda…



Usia muda itu sebenarnya berapa, relatif memang. Bisa berarti usia remaja (teen), bisa berarti usia subur (15-49 tahun), bisa berarti usia produktif (15-45 tahun), bisa berapa saja tergantung usia orang yang mengatakan. Kakek saya yang berusia 80 tahun tentu bilang paman saya yang berumur 48 tahun adalah usia muda.

Boleh-boleh saja. Tapi saya ikut kebanyakan persepsi orang-orang jaman sekarang saja deh ya. Maksudnya usia baru menginjak 20. Usia ketika orang pertama kali disebut sebagai orang dewasa. Bukan remaja atau ABG lagi.

Mengapa saya bilang menikah muda itu enak? Karena pengalaman sendiri dong, ah. Saya banyak sekali merasakan keuntungan menikah di usia muda (saya 22 tahun, suami 23 tahun). Meski awalnya mengundang kontroversi dan su’udzon di keluarga besar, tapi akhirnya banyak juga yang meniru langkah kami.

Usia 20-an adalah usia yang saya rasa full of energy. Baik dari semangat maupun tenaga. Maka tidak heran apabila kalangan medis menyebutkan bahwa usia terbaik untuk bereproduksi adalah pada usia 20-an. Pada usia ini, kemungkinan melahirkan anak yang sehat dan normal adalah paling besar. Diluar usia ini, kemungkinan anak lahir cacat, keguguran, dlsb lebih tinggi. Selain itu, kondisi ibu berada pada usia yang paling prima untuk hamil dan melahirkan. Sehingga berbagai macam komplikasi yang terjadi selama kehamilan maupun persalinan bisa diminimalkan.

Selain itu, dari sisi motivasi hidup, bekerja dan meraih prestasi berada pada level paling atas. Mungkin karena pada usia ini persoalan hidup dan tingkat stress belum begitu terakumulasi. Hingga apapun yang dilakukan, bebannya akan dirasa lebih ringan karena belum terlalu terkontaminasi masalah lain.

Menikah muda memang bukan tanpa masalah. Apalagi kalau bukan karena ego masing-masing yang masih tinggi. Emosi yang masih meledak-ledak, yang kadangkala merusak pikiran jernih dan akal sehat. Usia yang sering over ekspresi. Namun jika fase-fase itu telah terlewati, dan kedua belah pihak terus berusaha memperbaiki diri dengan tetap berpegang teguh pada komitmen, Insya Allah “Setelah kesulitan itu akan ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah)

Rata-rata teman-teman wanita saya menikah diatas usia 28. Teman laki-laki kebanyakan masih lajang hingga usia 30-an. Mereka beralasan ingin mengejar karier dulu. Biar pas menikah sudah punya rumah dan mobil sendiri. Ngga usah malu ikut numpang hidup dulu di mertua atau harus pusing cari kontrakan rumah. Ada juga yang kepingin santai menikmati masa muda (dan juga gaji) tanpa direcoki masalah keluarga.
Sah-sah saja. Semua punya pilihan masing-masing.
Namun saya ingin menggaris bawahi bahwa masa muda itu tidak akan datang dua kali. Sayang kalau masa reproduksi terbaik dilewatkan begitu saja gara-gara hal yang tidak begitu prinsipil.
Di usia baru menginjak 30, saya dan suami sudah akan mempunyai 3 anak. Itu sangat saving energy untuk usia tua kami. Banyak saya lihat, ‘para jompo’ masih bekerja keras mencari nafkah untuk anak-anaknya yang masih usia sekolah. Masih pontang-panting memikirkan anak yang belum selesai pendidikannya. Masa tua yang idealnya tinggal bersenang-senang mengasuh cucu dan melihat dengan bangga anak-anaknya yang telah mempunyai karier mapan.

Saya juga merasa, dengan menikah, usia muda saya lebih banyak diselamatkan. Selamat dari penghamburan waktu dan uang. Yang biasanya dilakukan lajang-lajang ketika week-end. Kalau sudah berkeluarga kan mikir dua kali. Lebih baik spent money and time with family sajah…jauh lebih bermanfaat dan lebih bertanggung jawab. Selamat dari syahwat yang tidak halal. Ini dia. Dengan menikah, pahala justru banyak dipanen dari sini.

Selain itu, dengan hadirnya anak-anak, banyak sekali hikmah yang didapat. Kesabaran lebih terasah, motivasi untuk mencari ilmu lebih tinggi, lebih punya rasa tanggung jawab, dan masih banyak lainnya. Saya yakin, hal-hal tersebut tidak akan didapat kalau saya masih lajang.

SO BAGAIMANA DENGAN KAMU SOBAT? ^_*)
http://mominaction.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar