Selasa, 31 Mei 2011

INGINKU SEMPURNAKAN SEPARUH AGAMAKU



INGINKU SEMPURNAKAN SEPARUH AGAMAKU.. oleh : Ummu Zidan Al Fathi Di zaman ini tidak ragu lagi penuh godaan di sana-sini. Di saat wanita-wanita sudah tidak lagi memiliki rasa malu. Di saat kaum hawa banyak yang tidak lagi berpakaian sopan dan syar’i. Di sa...at perempuan lebih senang menampakkan betisnya daripada mengenakan jilbab yang menutupi aurat. Tentu saja pria semakin tergoda dan punya niatan jahat, apalagi yang masih membujang. Mau membentengi diri dari syahwat dengan puasa amat sulit karena ombak fitnah pun masih menjulang tinggi. Solusi yang tepat di kala mampu secara fisik dan finansial adalah dengan menikah. Menyempurnakan Separuh Agama Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نِصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625) Lihat bahwa di antara keutamaan menikah adalah untuk menyempurnakan separuh agama dan kita tinggal menjaga diri dari separuhnya lagi. Kenapa bisa dikatakan demikian? Para ulama jelaskan bahwa yang umumnya merusak agama seseorang adalah kemaluan dan perutnya. Kemaluan yang mengantarkan pada zina, sedangkan perut bersifat serakah. Nikah berarti membentengi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Itu berarti dengan menikah separuh agama seorang pemuda telah terjaga, dan sisanya, ia tinggal menjaga lisannya. Al Mula ‘Ali Al Qori rahimahullah dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih berkata bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “bertakwalah pada separuh yang lainnya”, maksudnya adalah bertakwalah pada sisa dari perkara agamanya. Di sini dijadikan menikah sebagai separuhnya, ini menunjukkan dorongan yang sangat untuk menikah. Al Ghozali rahimahullah (sebagaimana dinukil dalam kitab Mirqotul Mafatih) berkata, “Umumnya yang merusak agama seseorang ada dua hal yaitu kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga diri dari salah satunya. Dengan nikah berarti seseorang membentengi diri dari godaan syaithon, membentengi diri dari syahwat (yang menggejolak) dan lebih menundukkan pandangan.” Kenapa Masih Ragu untuk Menikah? Sebagian pemuda sudah diberikan oleh Allah keluasan rizki. Ada yang kami temui sudah memiliki usaha yang besar dengan penghasilan yang berkecukupan. Ia bisa mengais rizki dengan mengolah beberapa toko online. Ada pula yang sudah bekerja di perusahaan minyak yang penghasilannya tentu saja lebih dari cukup. Tetapi sampai saat ini mereka belum juga menuju pelaminan. Ada yang beralasan belum siap. Ada lagi yang beralasan masih terlalu muda. Ada yang katakan pula ingin pacaran dulu. Atau yang lainnya ingin sukses dulu dalam bisnis atau dalam berkarir dan dikatakan itu lebih urgent. Dan berbagai alasan lainnya yang diutarakan. Padahal dari segi finansial, mereka sudah siap dan tidak perlu ragu lagi akan kemampuan mereka. Supaya memotivasi orang-orang semacam itu, di bawah ini kami utarakan manfaat nikah yang lainnya. (1) Menikah akan membuat seseorang lebih merasakan ketenangan. Coba renungkan ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman, وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Ruum: 21). Lihatlah ayat ini menyebutkan bahwa menikah akan lebih tentram karena adanya pendamping. Al Mawardi dalam An Nukat wal ‘Uyun berkata mengenai ayat tersebut, “Mereka akan begitu tenang ketika berada di samping pendamping mereka karena Allah memberikan pada nikah tersebut ketentraman yang tidak didapati pada yang lainnya.” Sungguh faedah yang menenangkan jiwa setiap pemuda. (2) Jangan khawatir, Allah yang akan mencukupkan rizki Dari segi finansial sebenarnya sudah cukup, namun selalu timbul was-was jika ingin menikah. Was-was yang muncul, “Apa bisa rizki saya mencukupi kebutuhan anak istri?” Jika seperti itu, maka renungkanlah ayat berikut ini, وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Nikah adalah suatu ketaatan. Dan tidak mungkin Allah membiarkan hamba-Nya sengsara ketika mereka ingin berbuat kebaikan semisal menikah. Di antara tafsiran Surat An Nur ayat 32 di atas adalah: jika kalian itu miskin maka Allah yang akan mencukupi rizki kalian. Boleh jadi Allah mencukupinya dengan memberi sifat qona’ah (selalu merasa cukup) dan boleh jadi pula Allah mengumpulkan dua rizki sekaligus (Lihat An Nukat wal ‘Uyun). Jika miskin saja, Allah akan cukupi rizkinya. Bagaimana lagi jika yang bujang sudah berkecukupan dan kaya? Dari ayat di atas, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, التمسوا الغنى في النكاح “Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim mengenai tafsir ayat di atas). Disebutkan pula dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai no. 3218, At Tirmidzi no. 1655. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Jika Allah telah menjanjikan demikian, itu berarti pasti. Maka mengapa mesti ragu? (3) Orang yang menikah berarti menjalankan sunnah para Rasul Allah Ta’ala berfirman, وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar Ra’du: 38). Ini menunjukkan bahwa para rasul itu menikah dan memiliki keturunan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ الْحَيَاءُ وَالتَّعَطُّرُ وَالسِّوَاكُ وَالنِّكَاحُ “Empat perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu, memakai wewangian, bersiwak dan menikah.” (HR. Tirmidzi no. 1080 dan Ahmad 5/421. Hadits ini dho’if sebagaimana kata Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Namun makna hadits ini sudah didukung oleh ayat Al Qur’an yang disebutkan sebelumnya) (4) Menikah lebih akan menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah[1], maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400). Imam Nawawi berkata makna baa-ah dalam hadits di atas terdapat dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna, yaitu sudah memiliki kemampuan finansial untuk menikah. Jadi bukan hanya mampu berjima’ (bersetubuh), tapi hendaklah punya kemampuan finansial, lalu menikah. Para ulama berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya untuk memberi nafkah finansial, maka hendaklah ia berpuasa untuk mengekang syahwatnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim) Itulah keutamaan menikah. Semoga membuat mereka-mereka tadi semakin terdorong untuk menikah. Berbeda halnya jika memang mereka ingin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang belum menikah sampai beliau meninggal dunia. Beliau adalah orang yang ingin memberi banyak manfaat untuk umat dan itu terbukti. Itulah yang membuatnya mengurungkan niat untuk menikah demi maksud tersebut. Sedangkan mereka-mereka tadi di atas, bukan malah menambah manfaat, bahkan diri mereka sendiri binasa karena godaan wanita yang semakin mencekam di masa ini. Menempuh Jalan yang Benar Kami menganjurkan untuk segera menikah di sini bagi yang sudah berkemampuan, bukan berarti ditempuh dengan jalan yang keliru. Sebagian orang menyangka bahwa menikah harus lewat pacaran dahulu supaya lebih mengenal pasangannya. Itu pendapat keliru karena tidak pernah diajarkan oleh Islam. Pacaran tentu saja akan menempuh jalan yang haram seperti mesti bersentuhan, berjumpa dan saling pandang, ujung-ujungnya pun bisa zina terjadilah MBA (married be accident). Semua perbuatan tadi yang merupakan perantara pada zina diharamkan sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32) Kemudian nasehat kami pula bagi mahasiswa yang masih kuliah (masih sekolah) bahwa bersabarlah untuk menikah. Sebagian mahasiswa yang belum rampung kuliahnya biasanya sering “ngambek” pada ortunya untuk segera nikah, katanya sudah tidak kuat menahan syahwat. Padahal kerja saja ia belum punya dan masih mengemis pada ortunya. Bagaimana bisa ia hidupi istrinya nanti? Kami nasehatkan, bahagiakan ortumu dahulu sebelum berniat menikah. Artinya lulus kuliah dahulu agar ortumu senang dan bahagia karena itulah yang mereka inginkan darimu dan tugasmu adalah berbakti pada mereka. Setelah itu carilah kerja, kemudian utarakan niat untuk menikah. Semoga Allah mudahkan untuk mencapai maksud tersebut. Oleh karenanya, jika memang belum mampu menikah, maka perbanyaklah puasa sunnah dan rajin-rajinlah menyibukkan diri dengan kuliah, belajar ilmu agama, dan kesibukan yang manfaat lainnya. Semoga itu semakin membuatmu melupakan nikah untuk sementara waktu. Adapun yang sudah mampu untuk menikah secara fisik dan finansial, janganlah menunda-nunda! Jangan Saudara akan menyesal nantinya karena yang sudah menikah biasa katakan bahwa menikah itu enaknya cuma 1%, yang sisanya (99%) “enak banget”. Percaya deh! Semoga sajian ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Minggu, 22 Mei 2011

Undangan Pengajian Sabtu Minggu di Jakarta

Sabtu Pagi 07:30-09:00 Masjid An-Nur Paseban , Jl. Salemba Tengah - Jakpus Depan UI.
Guru: KH Maulana Kamal Yusuf
-Anunul Ma'bud , Syarah Sunan Abu Daud
-Majmuatu Risalah Imam Ghazali
-Misbahul dzolam, syarah bulughul mahram (hadis)
-Mizanul Kubro (Perbanding fikih 4 mazhab)
-Mughni Labib(Nahwu)
=============
Minggu pagi 09:00-10:00 ;Majid Pesantren al Hidayah Basmol belakang Pabrik ABC Jembatan gantung, Jakarta barat.
Guru: KH Syarifudin Abdul Ghoni & KH Alawi Zein
-Tafsir Khozin
-Muhazzab (fikih)
-Fathul Bari Syarah Shohih Bukori
===============
Minggu pagi 07:30-09:00 Masjid An-Nur Paseban , Jl. Salemba Tengah - Jakpus Depan UI.
Guru: KH Maulana Kamal Yusuf
-Assoban asmuni(nahwu)-
Janjani (shorof)
-Faidhul Qodir syarah Jamius Shogir (hadis)
-Fathul Wahab (fikih)

Minggu pagi 06:00-07:30 Masjid Arif Rahman hakim, UI Salemba, Jakpus
Guru: KH Maulana Kamal Yusuf
-Tafsir Jalalain
-Ibnu jamrah (hadits)
-Kifayatul akhyar (fikih)

============
Minggu Pagi 07:00-09:00 Masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang Jl. Ciputat Raya RT 10/02 No.10 Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Guru: KH. Saifuddin Amtsir dan KH. Sofwan Nidzomi
-Tafsir Ibnu Katsir
-Shohih Muslim
-Tanbihul Ghafilin

Minggu Pagi 08:00-09:00 Masjid Pesantren Al-Asyirotusyafiiyah dekat Rumah Syekh Mualim Syafii Hadzami (alm), Kebayoran Lama. Jl. KH Syafii Hadzami, Kebyoran Lama , Jaksel

Guru: KH Bunyamin
-kitab Tasawuf ( ana lupa)
Setiap Hari Minggu

* Tempat : Masjid Al Asyirotussyafi'iyah
* Waktu : 07:00 - Selesai
* Pembimbing : KH. Bunyamin
* Kitab Yang di kaji : Hikam & Kanzur Raghibin
* Kaum : Bapak

Minggu Pagi 09:00-10:00 Masjid Pesantren Al-Asyirotusyafiiyah dekat Rumah Syekh Mualim Syafii Hadzami (alm), Kebayoran Lama. Jl. KH Syafii Hadzami, Kebyoran Lama , Jaksel

Guru: KH Syarifudin Amsir
Kitab: ana lupa

PERKAWINAN

Dasar Pembicaraan

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”.
(QS. An-Nisaa' [4] : 1)

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ. فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ {رواه ابن ماجه : 1845}
Dari Alqamah bin Qais ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu yang mampu dan berkeinginan hendak menikah,
hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat
memejamkan pandangan mata dan dapat memelihara kemaluan.
Dan barangsiapa yang belum mampu untuk menikah, hendaklah
ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa baginya dapat
mengurangi nafsuny terhadap perempuan.
(HR. Ibnu Majah : 1845)

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[1]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
(QS. An-Nisaa' [4] : 4)

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”.
(QS. Ath-Thalaaq [65] : 7)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu diam bersamanya dengan tenteram (sakinah), dan dijadikan-Nya diantaramu rasa cinta (mawaddah) dan kasih-sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir”.
(QS. Ar-Ruum [3] : 21)

Bergaul Suami Isteri

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[2] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[3]. Dan bergaullah dengan mereka secara patut (ma’ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain[4], sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”. “Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
(QS. An-Nisaa' [4] : 19-21)
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Baqarah [2] : 223)
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا{رواه الترمذي: 1162}
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik pribadi adalah pribadi orang yang paling baik akhlaknya terhadap isterinya.
(HR. Tirmidzi : 1162)
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[5]. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(QS. Al-Baqarah [2] : 228)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”.
(QS. An-Nisaa' [4] : 34)
خَيْرُ النِّسَاءِ اِمْرَأَةٌ اِنْ نَطَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِنْ اَمَرْتَهَا اَطَاعَتْكَ وَاِنْ غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِيْ مَالِكَ وَ نَفْسِهَا.
Sebaik-baik wanita adalah isteri yang apabila engkau memangdangnya, ia menyenangkan kamu; dan jika engkau menyuruhnya ia mentaatimu; dan jika
engkau bepergian ia memelihara hartamu dan kehormatan dirinya.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْ كُنْتُ آمِرًا اَحَدًا اَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهاَ
{رواه الترمذي: 1159}
Dari Abu Hurairah diterima dari Nabi saw, beliau bersabda : Seandainya aku boleh menyuruh seseorang bersujud kepada seseorang, niscaya aku akan menyuruh
perempuan untuk bersujud kepada suaminya.
(HR. Tirmidzi : 1159)
Pernikahan adalah ikatan yang menghalalkan pergaulan antara wanita dan pria yang bukan mahram; dan membatasi hak dan kewajiban mereka. Akad nikah adalah perjanjian yang kokoh yang mendapatkan pengesahan dari Allah antara suami dan isteri; dan sekaligus di dalamnya terdapat jalinan silaturrahim antara dua keluarga yang berbeda kultur, adat istiadat, sehingga sangat diperlukan adanya sikap saling memahami, saling menghormati serta dituntut adanya perjuangan untuk menyesuaikan diri satu dengan yang lainnya.
Pasangan suami isteri pasti mendambakan adanya kehidupan yang penuh dengan “kebahagiaan”, yang di dalamnya terdapat “sakinah” (ketenteraman dan ketenangan), “mawaddah” (cinta sejati atau terisno), dan “rahmah” (kasih sayang). Rumah tangga yang demikian itulah yang digambarkan oleh Rasulullah sebagai rumah tangga yang bernuansa kehidupan surgawi. “Rumahku surgaku” {بَيْتِيْ جَنَّتِيْ}. Demikianlah yang ditegaskan Rasulullah saw.

Kisah Berikut Sebagai Gambaran Keluarga
“Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah”.

Suatu ketika terdapat seorang pemuda saleh bernama “Abu saleh” sedang duduk di tepi sungai di seberang laut Kaspia, di Iran, tepatnya di suatu wilayah yang dikenal dengan Jailan. Tiba-tiba satu buah apel terapung mengikuti aliran sungai terlihat di hadapannya. Apel itu diambil dan langsug dimakannya. Ia telah beberapa hari tidak makan apa pun. Namun, rasa menyesal dalam benaknya muncul setelah buah apel sedikit menghilangkan rasa lapar. Ia merasa tidak mempunyai hak untuk memakannya sebelum mendapatkan izin dari pemiliknya. Ia betul-betul ingin mengetahui dengan jelas, bahwa buah yang dimakannya itu halal bagi dirinya. Ia pergi menelusuri sungai mencari pemiliknya. Ternyata, tidak terlalu jauh terdapat sebuah kebun apel, dan tidak terlalu lama telah dapat menjumpai pemiliknya, bernama “Abdullah Saumi”.

Abu saleh berkisah kepada pemilik kebun tentang peristiwa yang telah dialami. Dan tujuan menemuinya hanyalah untuk memohon keikhlasannya agar buah apel yang telah dimakannya itu dihalalkan bagi dirinya. Setelah memperhatikan tutur kata dan tindakan pemuda yang begitu tulus agar buah apel yang telah dimakannya dihalalkan, pemilik kebun kagum yang tiada terkira. Kekagumannya itu dinyatakan dengan kesediaannya menghalalkan, dengan syarat agar pemuda itu bersedia menikahi putrinya, seraya berkata : Hai anak muda! Aku akan meng-ikhlaskan buah apel yang telah engkau makan. Akan tetapi ada syarat yang harus engkau penuhi, yaitu : “Engkau bersedia menikahi anak perempuanku bernama Fatimah, yang sampai sekarang keadaannya buta, bisu dan lumpuh”. Demi mendapatkan keinginannya, agar buah apel yang telah dimakannya itu halal, pemuda bernama Abu Saleh menerima persyaratan itu dengan hati yang tulus dan ikhlas, walau terbayang dalam benaknya keadaan yang cukup memberatkan.

Setelah akad nikah, dan pesta perkawinan telah usai, Abu saleh mendatangi Fatimah di kamarnya. Betapa herannya melihat kenyataan. Di hadapannya terlihat seorang wanita cantik mempesona. Hampir-hampir tak percaya dengan penglihatannya. Ia mendekat, lalu berhenti dan terus mendekat sambil berusaha meyakinkan dirinya, bahwa wanita cantik itu adalah isterinya yang sah. Ternyata, sang isteri bukanlah seorang wanita yang sempat terbayangkan, buta, bisu dan lumpuh seperti informasi dari calon mertua sebelumnya.

Setelah mendapatkan penjelasan dari sang mertua, bahwa buta, bisu dan lumpuh itu adalah bahasa kiasan belaka untuk menguji kesalehan sang calon menentu, barulah Abu Saleh mendapatkan keyakinan yang mantap, bahwa wanita cantik itu adalah isterinya. Wanita bernama Fatimah itu disebut buta karena penglihatannya tidak dipergunakan melihat larangan Allah. Disebut bisu karena lisannya tidak dipergunakan mengeluarkan rangkaian kata yang dilarang Allah. Dan disebut lumpuh karena kakinya tidak digunakan melangkah ke tempat yang dilarang Allah.

Seorang pemuda saleh dan wanita salehah telah menjadi pasangan suami isteri yang sah, yaitu : Abu Saleh dan Fatimah dengan kehidupan yang bernuansa surgawi dalam naungan rido Allah. Setelah usia lanjut, pada bulan suci Ramadhan tahun 470 H, pasangan suami isteri itu dikaruniai seorang putra, diberi nama Abdul Qadir. Ia lahir di suatu wilayah yang dikenal dengan Jailan. Itulah sebabnya, di akhir namanya ditambah dengan kata Al-Jailani, sehingga dikenal dengan sebutan “Abdul Qadir Al - Jailani”. Ia menjadi yatim sejak masih usia muda, dan selanjutnya berada di bawah asuhan kakeknya. Ia seorang anak yang tekun mencari ilmu. Dalam usia tujuh belas tahun sudah mengikuti perkuliahan di sebuah Universitas, yaitu Jami’ah Nizamiah di Bagdad. Delapan tahun lamanya menuntut ilmu. Ia seorang mahasiswa yang tidak mudah mengeluh. Semangatnya tidak pernah kendor karena kekurangan bekal. Selama itu, ia dikenal ketekunan dan kesungguhannya, sehingga menjadi mahasiswa kesayangan Rektor Universitas bernama Abu Zakaria.

Setelah Abdul Qadir menamatkan pendidikan formalnya, ia mendapatkan latihan spiritual yang ketat dari seorang Sufi terkenal bernama Syeikh Abu Sa’id Al-Makhzumi. Ia menetap di Bagdad dan memanfaatkan sisa hidupnya mengabdikan diri untuk islam dan kemanusiaan. Ia dianugerahi lidah yang lancar sebagai seorang orator. Ceramahnya cukup mengena di hati umat, kaya akan nilai-nilai pendidikan, baik duniawi maupun ukhrawi. Pandangan ruhaniahnya menarik simpati banyak pengunjung hingga mencapai 80 ribu orang setiap kali pertemuan. Ia adalah seorang hamba yang tinggi ilmu pengetahuannya dengan pola hidup sederhana yang sampai sekarang dikenal dengan Syeikh Abdul Qadir Al- Jailani.[6]

Dari kisah di atas, kita mendapatkan informasi, bahwa menjaukan diri dari dosa ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam perjalanan hidup membina keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah. Abu Saleh, seorang pemuda yang betul-betul paham akan pesan-pesan Allah, ia sangat hati-hati, agar jangan sampai ada makanan yang haram masuk dalam perutnya. Ia menyadari, bahwa makanan dapat mendatangkan dampak yang sangat besar bagi kehidupan. Dengan makanan, seorang anak manusia itu tumbuh dan berkembang. Ia betul-betul memiliki keyakinan yang mantap kepada kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa yang halal itu jelas dan yang haram itu-pun jelas, sehingga ia sungguh-sungguh dalam mencari kejelasan status barang yang telah dimakannya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang tiga istilah (Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah), baiklah kita urai secara singkat satu persatu sebagai berikut :
1. Sakinah (ketenteraman dan ketenangan), yang merupakan perkembangan dari akar kata “sa-ka-na” yang berarti “tenang”. Sesuai dengan perkembangan kebahasaan, maka keluar kata “maskan” yang berarti “rumah”, yang terambil dari akar kata yang sama. Arti tersebut memberikan informasi, bahwa rumah __ tempat tinggal yang bersifat materi itu merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi __ seharusnya dapat memberikan ketenangan kepada penghuninya. Allah menggambarkan rumah surga dengan “maskan” (bentuk tunggal), dan bentuk jamaknya “masaakin” (rumah-rumah) yang diberi sifat dengan “Thayyibah” (bagus dan menyenangkan). Firman Allah : “Allah berjanji kepada orang-orang mu’min laki-laki dan mu’min perempuan surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan mendapat “masaakin thayyibah” (tempat-tempat tinggal yang bagus dan menyenangkan), di surga ‘Adn. Dan keridoan Allah adalah lebih besar. Demikian itu adalah keberuntungan yang besar”.[7] Sebenarnya, rumah-rumah di dunia pun dapat menjadi tempat tinggal yang bagus dan menyenangkan (Thayyibah), apabila terpenuhi syarat sebagai hunian yang layak (ma’ruf), yaitu tempat tinggal yang diwarnai oleh nilai-nilai agung yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Allah berjanji untuk meberikan sakinah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagaimana tergambar dalam firman-Nya : “Kemudian Allah menurunkan sakinah (ketenangan) kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya….” [8] Dengan jenis sakinah seperti yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dan kaum beriman, kehidupan keluarga dapat berkembang menjadi sebuah pangkal kesalehan, kemenangan dan kesuksesan yang menyenangkan, yang penuh mawaddah dan rahmah dalam naungan rido Allah.

2. Mawaddah (cinta sejati atau terisno), yaitu ketika seseorang tertarik kepada lawan jenisnya tidak semata-mata karena pertimbangan jasmaniah, melainkan juga karena hal-hal yang lebih abstrak, misalnya segi kepribadian, ilmu pengetahuan atau nilai-nilai mulia lainnya yang terdapat pada diri seseorang. Kecintaan terhadap lawan jenis yang demikian ini berada pada tingkat yang lebih tinggi dan disebut mawaddah, yang kecintaannya berpotensi untuk lebih kuat dan bertahan lebih lama, karena memiliki unsur kesejatian yang lebih mendalam, sehingga dapat memberi rasa bahagia yang lebih tinggi. Tingkat ini, unsur lahiriah jasmaniah dalam merajut cinta tidak terlalu banyak menjadi bahan pertimbangan. Kualitas kepribadiannya adalah lebih penting baginya dan lebih utama daripada penampilan fisiknya. Demikianlah yang ditampilkan pemuda saleh bernama Abu Saleh. Ia menerima persyaratan yang diajukan Abdullah Saumi, semata-mata ia berpikir jangka panjang yang abadi. Ia ingin meraih kebahagian yang hakiki. Hal Itu tentu dapat diraih dengan kebersihan hati (qalbun salim) yang pada gilirannya akan memancarkan budi luhur (akhlaq karimah). Ia betul-betul memahami informasi yang datang dari Rasulullah saw. seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuhmu dan tidak pula melihat rupamu, tetapi melihat hatimu”.[9]

3. Rahmah (kasih sayang), yaitu jenis kecintaan dan kasih sayang yang bernuansa Ilahiah, karena bersumber dan berpangkal dari sifat Allah yang Rahman dan Rahim. Keluarga yang penuh rahmah adalah keluarga yang dalam kehidupannya akan selalu berusaha meniru akhlak Allah, yaitu hubungan kasih sayang yang tidak terbatas, yang serba meliputi, murni dan sejati, sejalan dengan firman Allah : “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. [10]

Dalam membina keluarga, secara alamiah, seseorang tertarik kepada lawan jenisnya, pada umumnya, mula-mula melalui pertimbangan jasmaniah yang berkaitan dengan hasrat pemenuhan kebutuhan biologis, sehingga dengan pertimbangan itu ia jatuh cinta. Ketertarikan seseorang terhadap lawan jenisnya atas dasar pertimbangan lahiriah merupakan tingkat permulaan yang berada pada bagian yang paling rendah, alias primitif, yang dalam bahasa Arab disebut mahabbah.

Daya tarik manusia kepada lawan jenisnya adalah sejalan dengan sunnatullah, bahkan termasuk salah satu dari tanda-tanda kebesaran-Nya, yang apabila dihayati, akan mengantarkan kita ke arah keinsyafan yang mendalam akan kehadiran Allah dalam hidup ini, dan menuntun kita untuk selalu mengadakan pendekatan (taqarrub) kepada-Nya


[1]. Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
[2]. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
[3]. Maksudnya: Berzina atau membangkang perintah.
[4]. Maksudnya ialah: Menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.

[5]. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nisaa' ayat 34.

[6]. Kisah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani selengkapnya dapat dibaca dalam Suara Hidayatullah, 01/VII/Dzulhijjah, 1414 / Mei 1994, hal. 32 -33
[7]. QS. At-Taubah [9] : 72
[8]. QS. At-Taubah [9] : 26 dan 40 serta QS. Al-Fath [48] : 26
[9]. Muhammad bin ‘Alan, Dalilul falihin, jilid 1, Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1971M/1391H, hal. 60-61
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَنْظُرُ اِلَى اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْبِكُمْ {رواه مسلم}
[10]. QS. Al-A’raa [7] : 156

KELOMPOK MANUSIA IMAM AL-GHAZALI MEMBAGI MANUSIA MENJADI 4 BAGIAN

KELOMPOK MANUSIA
IMAM AL-GHAZALI MEMBAGI MANUSIA MENJADI 4 BAGIAN :

1.YADRII WA YADRII ANNAHUU YADRII
1- يَدْرِيْ وَ يَدْرِيْ اَنَّهُ يَدْرِيْ
1. TAHU DAN TAHU BAHWA DIRINYA TAHU.
Orang Yang Berilmu Dan Sadar Bahwa Dirinya Berilmu;
orang ini dapat menempatkan diri sesuai kedudukannya, serta amanah dan bertanggung jawab

2. YADRII WALAA YADRII ANNAHUU YADRII
2- يَدْرِيْ وَ لاَ يَدْرِيْ اَنَّهُ يَدْرِيْ
2. TAHU TAPI TIDAK TAHU BAHWA DIRINYA TAHU.
Orang Yang Berilmu Dan Tidak Sadar Bahwa Dirinya Berilmu; orang ini tidak bisa menempatkan diri sesuai kedudukannya, serta tidak amanah dan tidak bertanggung jawab

3. LAA YADRII WA LAA YADRII ANNAHUU LAA YADRII
3- لاَ يَدْرِيْ وَ لاَ يَدْرِيْ اَنَّهُ لاَ يَدْرِيْ
3. TIDAK TAHU DAN TIDAK TAHU BAHWA DIRINYA TIDAK TAHU.
Orang Yang Tidak Berilmu Dan Tidak Sadar Bahwa Dirinya Tidak Berilmu; orang ini biasanya sok tahu serta tidak amanah dan Tidak mampu memikul tanggung jawab

4.LAA YADRII WA YADRII ANNAHUU LAA YADRII
4- لاَ يَدْرِيْ وَ يَدْرِيْ اَنَّهُ لاَ يَدْرِيْ
TIDAK TAHU DAN TAHU BAHWA DIRINYA TIDAK TAHU.
Orang Yang Tidak Berilmu Dan Sadar Bahwa Dirinya Tidak Berilmu; orang ini biasanya mengakui kekurangannya, serta amanah dan bertanggung jawab

http://sirajuddinsamsularifin.blogspot.com/2008/02/kelompok-manusia-imam-al-ghazali.html

Imam Al-Gazali dan Abraham Maslow dalam Teori Motivasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.

Salah satu cara memahami hakekat manusia adalah dengan pendekatan yang lebih mengarah kepada teori tentang kepribadian manusia. Dewasa ini telah banyak hasil yang dicapai oleh para ahli psikologi dalam usaha untuk menyusun teori kepribadian . Pembahasan tentang kepribadian ini berkaitan erat dengan perilaku manusia yang salah satu determinannya adalah motivasi.

Berdasarkan penggolongan determinan perilaku manusia itulah para ahli psikologi mengemukakan teori-teorinya tentang motivasi. Di antara teori motivasi yang dikemukakan adalah teori aktualisasi diri yang pertama kali dikemukakan oleh Carl Rogers dan kemudian dikembangkan oleh Abraham H. Maslow. Abraham H. Maslow ini dianggap sebagai tokoh madzhab ketiga dari aliran psikologi yang melakukan penelitan dengan cara meneliti orang-orang yang sehat sebagai obyeknya.

Di sisi lain, Al-Ghazâli melalui pendekatan tasawufnya banyak mengungkap hakikat dan perilaku manusia. Dari pemikiran-pemikiran Al-Ghazâli yang fenomenal ini banyak terlahir pemikir-pemikir baru di bidang psikologi Islam. Diantara pemikiran Al-Ghazâli adalah konsepnya tentang fitrah yang dikenal dengan sebutan al-Nafs al-Rabbâniyyah. Konsep fitrah Al-Ghazâli berkaitan erat dengan pembahasan tentang motivasi. Untuk menjelaskan motivasi perilaku manusia, Al-Ghazâli menyuguhkan konsep syahwat sebagai motivasi mendekat (al-sabab al-dâkhili) dan ghadlab sebagai motivasi menjauh (al-sabab al-khâriji).

Pemahaman terhadap hakekat manusia menurut Al-Ghazâli melalui Pendekatan Tasawuf dan Maslow melalui Pendekatan Ilmiah tampaknya memiliki pandangan yang sama, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi-potensi baik dan mampu diaktualisasikan sehingga mencapai manusia sempurna (al-insân al-kamîl). Namun tentu saja perbedaan-perbedaan antara mereka berdua tentang teori motivasi pasti ada. Atas dasar itu penelitian mendalam terhadap pemikiran-pemikiran Al-Ghazâli dan Maslow tampaknya perlu dilakukan. Maka mengungkap pemikiran keduanya melalui sebuah studi komparatif laik untuk dilakukan.

B. RUMUSAN MASALAH.

1. Identifikasi Masalah

Pembahasan tentang motivasi berkaitan erat dengan kepribadian manusia yang unik dan multikompleks. Teori motivasi berupaya menjelaskan sebuah perilaku serta stimulus kepada individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut dapat digolongkan kepada subyek-subyek tertentu, misalnya dibidang psikoterapi, manajemen, sosial kemasyarakatan, dan pendidikan.

2. Pembatasan Masalah

Isi makalah dibatasi pada komparasi pemikiran Al-Ghazâli dan Maslow tentang motivasi ditinjau dari sudut pandang implikasinya terhadap pendidikan.

3. Perumusan Masalah

Masalah dalam makalah ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, apakah teori motivasi menurut Al-Ghazâli dan Maslow cenderung menghasilkan pendidikan yang beraliran nativisme dan empirisme ?

C. Tujuan dan Manfaat

Pembahasan dalam makalah ini bertujuan untuk mengetahui apakah teori motivasi menurut Al-Ghazâli dan Maslow cenderung menghasilkan pendidikan yang beraliran nativisme dan empirisme? Makalah ini pun memiliki manfaat untuk mengungkapkan pemikiran kedua tokoh tersebut tentang motivasi dan memberikan inspirasi baru dalam menemukan teori-teori pendidikan humanistik menurut Islam.

D. Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup pembahasan meliputi

1. Hakekat manusia

2. Psikoterapi

3. Aktualisasi diri

4. Pendidikan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI

1. HAKIKAT MANUSIA

Pembahasan tentang hakekat manusia dapat dilihat dari tiga perspektif sebagai berikut:

a. Pandangan filsafat tentang manusia

Dalam filsafat terdapat empat aliran dalam memandang manusia, yaitu materialisem monism yang memandang bahwa hakekat manusia adalah sebuah materi. Kedua, aliran filsafat spiritualisme yang memandang bahwa hakekat manusia adalah ruh dan jiwa. Ketiga, aliran filsafat idealisme yang memandang bahwa manusia adalah perpaduan badan yang material dan jiwa yang tidak material . dan keempat aliaran filsafat dualisme yang beranggapan bahwa hakekat manusia adalah jasmani dan ruh yang keduanya merupakan sesuatu yang saling berbeda.

b. Pandangan psikologi tentang manusia

Ada empat aliran psikologi yang dijadikan rujukan dalam merumuskan teori tentang manusia, yaitu psikoanalisa, behavioristik, humanistik, dan transpersonal.

Aliran psikoanalisa yang dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa kepribadian manusia terdiri atas tiga system dan tiga strata kesadaran. Tiga sistem adalah id (das es), ego (das ich), dan super ego (uber ich). Sedangkan tiga strata kesadaran adalah alam sadar (the preconscious), alam sadar (the conscious), dan alam tak sadar (the unconscious).

Aliran Behavioristik yang dipelopori John Broadus Watson (1878-1958) memandang manusia dengan konsep stimulus respon (S-R). Perilaku manusia terbentuk melalui pembiasaan klasik (classical conditioning), hokum akibat (law of effect), pembiasaan operant (operant conditioning), dan peneladanan (modeling).

Sementara aliran Humanistik yang dipelopori Abraham H. Maslow memandang manusia memiliki potensi yang baik dan makhluk bermartabat, bertanggung jawab, dan mampu merealisasikan potensi-potensinya sesuai dengan jati dirinya sehingga mencapai aktualisasi diri.

Adapun dalam pandangan aliran Transpersonal manusia memiliki kebutuhan paling tinggi yaitu kebutuhan spiritual yang membuat mampu mencapai posisi transendensi diri melewati batas kesadaran biasa yang pada suatu saat mampu mencapai tingkat penghayatan mistis, penyatuan diri dengan Tuhan yang Maha Besar.

c. Pandangan Islam tentang Manusia

Ada tiga kata kunci dalam memahami konsep Islam tentang manusia, yaitu basyar, insân, fitrah, dan nafs, dan ruh. Konsep basyar menunjukkan posisi manusia sebagai makhluk biologis yang memerlukan kebutuhan dasar (physiological needs). Sedangkan konsep insân menunjukkan bahwa manusia adalah totalitas yang memiliki fisik dan psikis, badaniah dan ruhaniah, individualistik, khas, unik, berbeda antara manusia satu dengan yang laiinya.

Sementara nafs dan ruh merupakan tentara hati manusia (junûd al-qalb). Hati manusia ini telah memiliki potensi yang disebut fitrah. Demikian penjelasan Al-Ghazâli.

2. TEORI MOTIVASI

Berdasarkan pengelompokkan motivasi ke dalam 4 kategori, yaitu motivasi biologis, motivasi sosial, motivasi personal, dan tingkat tinggi, muncullah 6 teori motivasi.

· Pertama, teori instink yang beranggapan bahwa sebagian besar perilaku manusia ditentukan oleh instink.

· Kedua, teori kognitif yang menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan rasio.

· Ketiga, teori hedonistik yang menyebutkan bahwa perilaku manusia pada dasarnya memiki tujuan untuk mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal yang sebaliknya.

· Keempat, teori Homeostatis yang menyatakan bahwa timbulnya sebuah motivasi merupakan akibat dari kondisi manusia yang tidak seimbang (disequilibrium) yang mendorongnya untuk kembali kepada keseimbangan (equilibrium).

· Kelima, teori Harapan yang dipelopori Victor E. Vroom. Menurutnya motivasi merupakan kombinasi antara besarnya keinginan, kemungkinan, dan keyakinan.

· Dan yang keenam adalah teori Aktualisasi Diri yang berpendapat bahwa dorongan tertinggi manusia adalah pencapaian aktualisasi diri.

3. ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

Terdapat empat aliran pendidikan yang sudah popular, yaitu nativisme, empirisme, naturalism dan konvergensi. Nativisme yang dipelopori Schopenhauer berpendapat bahwa bayi terlahir sudah dengan pembawaan sifat baik dan buruk. Empirisme melalui John Locke (1704-1832) menyatakan bahwa pembentukan kepribadian manusia sangat ditentukan oleh rangsangan dari lingkungan luar. Naturalisme yang dimunculkan oleh J.J. Rousseau (1712-1778) menyatakan bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan buruk. Dan Konvergensi yang dipelopori William Stern menyebutkan bahwa keberhasilan pendidikan sangat tergantung dari pembawaan dan lingkungan.

B. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI & TEORI MOTIVASINYA

Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhamad bin Muhamad at-Thusi Al-Ghazali. Ia lahir di kota Thus Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Pendidikan Al-Ghazali dimulai dari Sang Ayah yang mengajarinya Al-Qur’an. Kemudian ia berguru kepada Ahmad bin Muhamad ar-Razikani dan Imam al-Haramain al-Juwaini di madrasah Nizamiyah. Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H/1111 M dalam usia ke-55 dan dimakamkan di kota kelahirannya. Adapun konsep teori motifasinya :

1. Struktur Jiwa

Menurut Al-Ghazali manusia terbagi ke dalam tiga dimensi, yaitu dimensi materi, dimensi nabati, dimensi hewani, dan dimensi kemanusiaan. Dalam tiga dimensi itu struktur jiwa manusia terdiri atas al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-aql. Unsur yang empat ini mengerucut pada satu makna yakni latifah atau al-ruh al-rabbaniyyah yang merupakan esensi manusia yang memiliki daya cerap, mengetahui dan mengenal, dan sekaligus menjadi obyek pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.

2. Junud al-Qalb sebagai Unsur Motivasi

Menurut Al-Ghazali sebuah perilaku terjadi karena peran dari Junud al-Qalb atau tentara hati. Dalam diri manusia terdapat dua kelompok Junud al-Qalb, yaitu yang bersifat fisik berupa anggota tubuh yang berperan sebagia alat dan yang bersifat psikis. Yang bersifat psikis mewujud dalam dua hal yaitu syhawat dan ghadlab yang berfungsi sebagai pendorong (iradah). Syahwat mendorong untuk melakukan sesuatu (motif mendekat) dan ghadlab mendorong untuk menghindar dari sesuatu (motif menjauh). Adapun tujuan dari perilaku tersebut adalah untuk sampai kepada Allah. Tetapi dalam praktiknya perilaku ini terbagi ke dalam hirariki motivasi Ammarah (hedonistik), motivasi Lawwamah (skeptik), dan motivasi Muthmainnah (spiritualistic).

C. RIWAYAT HIDUP ABRAHAM H. MASLOW & TEORI MOTIVASINYA

Nama lengkapnya adalah Abraham Harold Maslow. Ia lahir pada tanggal 1April 1908 di Brooklyn New York Amerika Serikat dari tujuh bersaudara. Ia belajar di City College of New York, Cornel University, dan Universitas Wisconsin. Gelar Ph.D di bidang psikologi ia raih pada tahun 1934. Ia bekerja di Brooklyn College selama 14 tahun, kemudian di Laughlin Foundation di Menlo Park sampai akhir hayatnya. Maslow meninggal pada tanggal 8 Juni 1970. adapun konsep teorinya :

1. Hakikat Manusia

Tentang hakekat manusia Maslow berpendapat bahwa manusia memiliki satu kesatuan jiwa dan raga yang bernilai baik, dan memiliki potensi-potensi. Yang dimaksud baik itu adalah yang mengakibatkan perkembangan kea rah aktualisasi diri.

2. Kebutuhan Pokok Manusia

Manusia memiliki kebutuhan dasar yang akan selalu menjadi motivasi perilakunya, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan memiliki dan rasa cinta, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Untuk dapat sampai pada tingkat aktualisasi diri semua kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada tingkat sebelumnya harus terpenuhi. Selain kebutuhan pokok tersebut yang disebut basic needs manusia juga memiliki metaneeds sebagai kebutuhan pertumbuhan seperti keadilan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan.

3. Kebutuhan Pokok sebagai Unsur Motivasi

Teori Motivasi Maslow dibentuk atas dasar teori hirarki kebutuhan pokok. Dengan kata lain pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok inilah yang memotivasi manusia berbuat sesuatu. Teori ini tidak sekedar bersifat homeostatis tetapi juga homeostatis psikologis. Bahkan pada tingkat puncak kebutuhan yang disusun Maslow mengarah kepada mistisisme.

about 12 months ago · Report
#
Abdul Hamid Mudjib Penuh
D. HASIL PERBANDINGAN

1. Fitrah Manusia

Secara umum Al-Ghazali dan Maslow memandang fitrah sebagai potensi dasar dari manusia adalah positif dan baik. Perbedaannya terletak pada kriteria baik. Menurut Al-Ghazali nilai-nilai yang baik adalah yang didasarkan atas unsur-unsur ilahiyah yang ditiupkan Allah pada proses penciptaan manusia. Sedangkan menurut Maslow nilai-nilai yang baik adalah yang dapat mengantarkan manusia memenuhi kebutuhan pokoknya dan mencapai aktualisasi diri.

2. Kebutuhan Manusia

Bila Maslow mengelompakan kebutuhan manusia ke dalam lima macam secara hirarkis, maka kita dapat membaginya menjadi dua, yaitu kebutuhan mutlak yang bersifat vertikal, dan kebutuhan terikat yang bersifat horizontal. Kebutuhan horizontal merupakan media dan sarana untuk memenuhi kebutuhan vertikal yakni mencapai kedekatan dengan Allah SWT. Klasifikasi kebutuhan dalam teori Al-Ghazali ini didasarkan kepada etika dan moral. Sedangkan Maslow mendasarkannya pada kepuasan yang relatif. Sekalipun dengan istilah yang berbeda, tujuan dari kebutuhan-kebutuhan tersebut baik menurut keduanya adalah untuk mencapai pengalaman puncak (peak experience).

3. Psikoterapi

a. Emosi

Menurut Al-Ghazali emosi pada dasarnya adalah gejolak dalam hati yang cenderung mengarah kepada dendam. Emosi ini harus senantiasa berada dalam posisi seimbang. Training untuk menyeimbangkan emosi adalah melalui riyadhah al-nafs.

Adapun Maslow berpandangan bahwa emosi cenderung bersifat positif. Emosi ini harus dikembangkan sehingga manusia mampu mengaktualisasikan segenap potensinya. Bukan bukan untuk dijauhi dan dikecam.

b. Konflik dan Macam-macamnya

Dalam pengertian Al-Ghazali konflik adalah suatu kondisi di saat hati berlawanan dengan kebaikan. Konflik ini terjadi ketika muncul dorongan ke arah kehidupan duniawi di satu sisi dan dorongan kehidupan akhirat di sisi lain. Sedangkan Maslow membagi konflik ke dalam kelompok, yaitu konflik yang bersifat ancaman dan yang bukan ancaman. Hanya konflik yang menimbulkan ancamanlah yang dianggap sebagai penyakit hati (psipatologis).

c. Upaya Memecahkan Konflik

Al-Ghazali mengajukan 10 langkah untuk memecahkan konflik, yaitu :

(1) Konsistensi dan ketulusan niat

(2) Ikhlas

(3) Penyesuain diri dengan kehendak Allah

(4) Tidak melakukan bid’ah

(5) Cita-cita yang tinggi

(6) Merasa lemah di hadapan Tuhan

(7) Memiliki sifat takut dan berharap

(8) Melakukan wirid

(9) Muraqabah dan

(10) Berdo’a.

Sementara bagi Maslow ada tujuh cara memecahkan konflik, yaitu :

(1) Melalui Pengungkapan

(2) Pemuasan Kebutuhan Pokok

(3) Meniadakan Ancaman

(4) Peningkatan Pemahaman

(5) Saran Dan Wewenang, Dan

(7) Perwujudan Diri.

sumb: http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=122204804480235&topic=105

MA‘RIFAT BILLAH WA ROSULIHI SAW .

1. Bagaimanakah definisi ma’rifat

Definisi ma‘rifat sebagai berikut :

* marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.
* Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
* Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA

2. Sebutkan keutamaan Ma’rifat !

Keutamaan keutamaan ma‘rifat :

a.terhindar dari kerusakan. Berdasarkan dawuh Sayyidina Ali Karromalloohu Wajhah :

Tidak mengalami kerusakan orang yang menyadari akan kedudukan dirinya “.

b. Ketika mati akan diberi kebaikan oleh Allah menurut bilangan makhluk.

“Wahai hamba-KU ketika kamu bertemu dengan Aku dan kamu ma’rifat kepada KU, maka KU berikan kebaikan menurut bilangan Makhluk”

3. Apakah ma’rifat Billah itu ?

Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT.

*

Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya Billah !.

4. Mengapa Ma’rifat ( sadar Billah ) dinyatakan sebagai masalah yang paling pokok, pertama dan paling utama ?

Marifat juga dinyatakan sebagai masalah yang paling pokok, pertama dan paling utama sebab Ma‘rifat Billah adalah soal Iman, soal tauhid, yang menentukan bahagia atau tidaknya seseorang, bahkan yang pertama kali yang diperjuangkan Rosulullah SAW, dimakkah selama 13 tahun, dan wajib kita memiliki serta kita perjuangkan .

Sebagaimana kata ulama’:

‘‘Bodoh Billah ( tidak sadar Allah ) hukumnya haram, dan Ma’rifat Billah adalah wajib “ ( Jami’ul Ushul Auliyak Hal 159 )

‘’Pertama kewajiban seseorang adalah Marifat kepada Tuhannya dengan yakin”. (Syekh Ibm Ruslan dalam kitab Zubad)

5. Apa ma’rifat Birrosul SAW dan sebutkan dasarnya !

Ma’rifat Birrosul adalah sadar kepada Rosulullah SAW yakni hati menyadari bahwa segala sesuatu termasuk gerak gerik dirinya lahir batin yang diridloi oleh Allah SWT adalah sebab jasa Rosuulullah SAW.:

Dasarnya

‘‘ Dan tiada KU mengutus Engkau ( Muhammad ) melainkan rohmat bagi seluruh alam ’’

6. Sebutkan jasa Rosulullooh SAW. Yang paling besar nilainya bagi ummatnya !

Jasa Rosululloh yang paling tinggi nilainya bagi umatnya adalah Iman dan Islam.

7. Sebutkan kedudukan Rosulullooh Saw !

kedudukan Beliau Rosululloh disisi Alloh SWT adalah :

sebagai utusan Allah SWT kepada seluruh umat manusia / makhluk.



“Tidaklah Muhammad itu melainkan sebagai utusan (ALL OH) “.

-Kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh, dan kami bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW itu’adalah utusan Alloh.

Sebagai perantara / saluran Nikmat. dalam hal ini ada dua (2) bagian:

1. Nikmat Ijab : adalah sebagai perantara wujudnya makhluk dengan melalui Nur Beliau Rosululloh SAW.

Sesungguhnya Beliau Rosululloh SAW perantara yang terbesar semua ni’mat yang diberikan kepada kita semua, bahkan Beliau adalah uns.ur daripuk wujudnya semua makhluq Alloh SWT.

sebagaimana dikatakan dalam Hadist Qudsi, Alloh SWT berfirman :

“Andaikata tidak ada engkau (Muhammad) AKU (Alloh) tidak menciptakan makhluq “.

2. Nikmat Imdad : adalah Nur Beliau Rosululloh SAW , makhluk yang telah di pelihara kelestariannya.

Dalam hal ini ada dua (2) jalur :

*
o jalur batiniyah / Rohani
o jalur lahiriyah / jasmani untuk umatnya

dasar nikmat Imdad yang tersalu melalui rohani :

Hadist Shoheh yang diriwayatkan Imam Ahmad, Imam Turmudzi, AI-Haldm dari Ibm Amfin sebagai berikut :

“Sesungguhnya Alloh SWT menciptakan makhluqNYA di dalam keadaan gelap, maka Alloh. SWT memancarkan atas diriku dari Nur-NYA, maka barang siapa terkena pancaran Nur tadi, ia akan mendapatkan petunjuk dan barang siapa tidak kena Nur itu ia akan tersesat”.

Dasar Ni’mat Imdad yang tersalur melalui lahir.

Dalam Surat AI-Maidah Ayat 15 se’butkan :

“Sesungguh telah datang kepadamu sekalian dari Alloh SWT Nur (Muhammad SAW) dan Kitab Al - Qur’an yang menerangkan halal, haram, haq dan bathil “

8. Apa fungsi Beliau Rosululloh SAW ?

Beliau Rosulullah berfungsi sebagai juru selamat umat manusia dari kesesatan dan kehancuran didunia dan diakhirat.

9. Bagaimana merealisasi ma’rifat Billah wa Rosulihi Saw. Secara sempurna ? jelaskan

Ma‘rifat Billah wa Rosulihi SAW baru di anggap sempurna bila dasari dalam hati diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, yakni disamping hati selalu sadar Billah dan sadar Birrosul, dibuktikan dengan amal perbuatan lahir selalu taat dan patuh atas segala perintah Allah SWT ( LILLAH ) dan selalu mengikuti tuntunan Rosulullah SAW (LIRROSUL) dalam kehidupan nyata sehari-hari. atau istilah lain benar -benar merealisasi dua kalimat Syahadat.

10. bagaimana jalan pintas untuk memperoleh kejernihan hati dan sadar Billah ( ma’rifat kepada Alloh SWT wa Rorosulihi SAW) ?

Jalan pintas untuk memperoleh kejernihan hati menuju sadar (ma‘rifat ) kepada Allah Wa Rosuluhi SAW.

Antaralain :

* memperbanyak taqorub mendekatkan diri dan bertaubat (memohon ampunan ) Allah SWT.
* memperbanyak Sholawat kepada Nabi SAW.
* memperbanyak Tasyaffuan ( memohon syafa‘at ) kepada Rosululloh SAW.
* Memohon bantuan (moral) doa restu, memohon barokah, karomah, nadhro Ghoutsu Hadzaz Zaman RA. Agar beliau-beliau tersebut berkenan membantu permohonkan kita kepada Allah SWT.

11. Kita menerima Fadlol yang besar dari Alloh SWT yang harus di syukuri, yang dapat di pergunakan sebagai alat yang ampuh dan ringan untuk menjernihkan hati dan Ma’rifat Billah wa Rosulihi SAW.Apakah Fadlol besar yang di maksud! Dan bagaiman cara mensyukurinya ?

Fadlol yang besar dari Allah SWT yang berupa ‘‘AMALAN SHOLAWAT WAHIDIYAH’’ harus di syukuri, yang dapat dipergunakan sebagai alat yang ampuh dan ringan untuk menjernikan hati dan ma‘rifat Billah wa Rosulihi SAW. Dan cara mensyukurinya kita harus mengamalkannya dan menyiarkan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah itu

Sumber http://sholawat-wahidiyah.com/id/rsl/mbillah.htm

Imam Al-Ghazali dan Filsafat dalam kitab : Tahafut al - Falasifah

Imam Al-Ghazali dan Filsafat dalam kitab : Tahafut al - Falasifah



Paling tidak dua pertanyaan dapat diajukan untuk memulai kajian kitab Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filosof) karya Imam al-Ghazali; 1. Apakah benar serangan al-Ghazali, seperti tertera dalam kitab Tahafut al-Falasifah, telah membuat filsafat dan pemikiran rasional serta ilmu pengetahuan kemudian tidak berkembang di dunia Islam? 2. Bagaimana sebenarnya sikap al-Ghazali terhadap filsafat?
Untuk mencari jawaban dua masalah tersebut terlebih dahulu dikaji apa sesungguhnya yang mendorong al-Ghazali mempelajari filsafat dan kemudian menulis bukunya: Maqashid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Juga dari kitab-kitabnya, terutama Tahafut al-Falasifah yang sedang dikaji ini, dapat diketahui inti kritik al-Ghazali terhadap para filosof. Dari situ selanjutnya dapat diketahui secara induktif apakah betul bahwa filsafat tidak berkembang lagi di dunia Islam setelah ada kritik keras al-Ghazali terhadap para filosof itu?

Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat (baca: filsafat Yunani) secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun (mirip aliran materialisme), 2) Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), 3) Ilahiyyun (nirip aliran Deisme). Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari bintang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah).

Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.

Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusuan logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.

Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Malahan ada yang bertentangan dengan ajaran agama, hal yang membuat al-Ghazali mengkafirkan sebagian pemikiran mereka itu.

Seperti tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasifah, kritik al-Ghazali terhadap para filosof itu terdapat dalam dua puluh (20) masalah yaitu: kelompok Pendapat para Filosof berisi tentang: 1. Alam qadim (tidak bermula); 2. Alama kekal (tidak berakhir); 3. Tuhan tidak mempunyai sifat; 4. Tuhan tidak diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fashl (diferensia); 5. Tuhan tidak punya mahiyah (hakekat); 6. Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat (perincian yang ada di alam); 7. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan; 8. Jiwa-jiwa planet mengetahui juz`iyyat; 9. Hukum alam tak berubah; 10. Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan ‘ardh (accident); 11. Mustahilnya kehancuran jiwa manusia; 12. Tidak adanya pembangkitan jasmani; 13. Gerak planet-planet punya tujuan.

Kelompok kedua adalah kelompok Ketidaksanggupan Para Filosof membuktikan hal-hal berikut: 14. Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan Tuhan; 15. Adanya Tuhan; 16. Mustahilnya ada dua Tuhan; 17. Bahwa Tuhan bukanlah tubuh; 18. Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain; 19. Bahwa Tuhan mengetahui esensinya; 20. Alam yang qadim mempunyai pencipta.

Menurut al-Ghazali, dari dua puluh masalah tersebut, tiga di antaranya membawa kekufuran, sedang yang lain dekat dengan pendapat Muktazilah. (lihat: al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 15-16). Dan Muktazilah, kata al-Ghazali di tempat lain, karena mempunyai pendapat demikian tidak mesti dikafirkan.

Al-Ghazali dan Kebenaran
Secara naluri, semenjak muda usia al-Ghazali telah terbiasa melakukan refleksi untuk mencari dan menemukan kebenaran. Ia tidak begitu saja bertaklid kepada pendapat-pendapat yang dikatakan orang benar. Ada empat kelompok aliran dalam Islam yang menjadikan sasaran kritik al-Ghazali dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran, yaitu, pertama, kelompok teolog Islam, yang dikatakan sebagai kelompok intelektual dan pemikir. Kedua, kelompok Bathiniyyah atau Ta’limiyyah, sebuah aliran dalam Syi’ah Isma’iliyyah yang selalu bergantung kepada Imam al-Muntazhar dan mendapat pengajaran dari padanya secara ghaib. Ketiga, kelompok filosof, yang dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan akal. Keempat, kelompok ahli tasawuf, yang dikatakan sebagai kalangan elitis Tuhan (khawwash al-hadrah).

Melihat bahwa semuanya sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran hakiki dan belum menemukannya, al-Ghazali pernah selama dua bulan mengalami penyakit syak (keraguan). Tetapi dia tetap meneruskan pencariannya setelah sembuh dari penyakitnya.

Sementara ahli menyatakan bahwa syak yang dialami al-Ghazali adalah syak dalam pengertian skeptik-metodik. Hampir sama dengan teori Francis Bacon (1561-1626) yang menyatakan; ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran obyektif. Pertama; selalu menggunakan induksi, dan kedua; selalu menghindari “idola’ (ide yang berprasangka) sebelum mengambil kesimpulan, yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya dengan menaruh keraguan. Maka, al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran tersebut sampai secara induktif dapat menyimpulkan kebenaran hakiki.

Menurut al-Ghazali, kebenaran hakiki ialah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya tanpa sedikit pun keraguan. Kata-nya: “Jika ku ketahui sepuluh adalah lebih banyak dari tiga dan orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti seajaib tongkat yang dapat dirubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuan bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Sekali-kali hal itu tidak akan membuat aku ragu tehadap pengetahuanku” (al-Ghazali, al-Munqidz min adh-Dhalal, hal. 4-5). Dengan kata lain, di samping mengandung pengertian tentang keyakinan, al-Ghazali di pihak lain, membenarkan pengetahuan yang tidak empirik, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada intuisi, yang dimulai dengan kekaguman dan keraguan (skeptik-metodik).

Pokok Perdebatan al-Ghazali
Dasar pengetahuan terakhir inilah yang senantiasa mendorong al-Ghazali tidak dapat menerima kebenaran yang dibawa akal, karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari kebenaran hakiki. Meski pun al-Ghazali sendiri juga berdalil dengan akal ketika menilai kekacauan pemikiran filosof, termasuk filosof muslim. Banyak cacatan menarik dari doktor Suliaman Dunya dalam mengedit kitab Tahafut al-Falasifah atau pun dalam mengedit kitab Tahafut al-Tahafut karya Ibnu Rusyd. (Baca pengantar-pengantar dua kitab tersebut dalam beberapa edisinya, terutama edisi keempat untuk “Tahafut al-Falasifah”).

Berikut ini percikan filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.

Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada" (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya).

Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi.

Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711). Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab, sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.

Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).

Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.

Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.

Catatan Penting
Tentu tidak bisa begitu saja membenarkan tuduhan demikian. Dengan menyimak secara seksama Tahafut al-Falasifah akan dapat terlihat bahwa tidak ada pertentangan yang mendasar atau prinsipil antara al-Ghazali dan para filosof, melainkan hanyalah beda interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan karena diterima atau ditolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Jadi hanyalah perbedaan ijtihad yang tidak membawa kekafiran. Karena itu Ibnu Rusyd sendiri menyatakan, pengkafiran al-Ghazali terhadap Ibnu Sina dan al-Farabi bukan pengkafiran absolut karena dalam al-Tafriqah, al-Ghazali menegaskan bahwa pengkafiran atas dasar ijma’ tidak bersifat mutlak.

Begitu pula sejarah membuktikan bahwa memang di kalangan Islam Sunni bagian Timur yang berpusat di Baghdad, filsafat sesudah al-Ghazali tidak berkembang. Tetapi di dunia Islam bagian Barat yang berpusat di Cordova, filsafat justru berkembang baik dan melahirkan tokoh-tokoh seperti Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.

Jadi, jelaslah sudah tidak berkembangnya filsafat di abad ke-XIII bukan tanggung jawab kitab Tahafut al-Falasifah. Apalagi menurut komentar Sulaiman Dunya dalam mengedit Tahafut al-Falasifah, kitab itu lebih filosofis dan rasional dari pada pemikiran para filosof yang diserangnya. Artinya, kitab itu justru menghidupkan filsafat di dunia Islam.

Kalau begitu, andaikata benar bahwa filsafat tidak berkembang di dunia Islam khususnya di dunia Islam Sunni, maka sebabnya harus dicari di luar kitab Tahafut al-Falasifah. Lebih-lebih kitab ini hampir tak terbaca oleh mayoritas umat Islam Sunni, termasuk Indonesia, misalnya. Mungkin sebab itu terletak pada tasawwuf yang menurut pemikiran al-Ghazali adalah jalan yang sebetulnya untuk mencari kebenaran hakiki dengan mengutamakan daya rasa (intuisi) dan meremehkan akal. Kitab tasawwuf al-Ghazali Ihya` Ulumuddin yang sangat populer justru sangat besar pengaruhnya terutama di dunia Islam Sunni.

Hal yang juga “membebaskan” kitab Tahafut al-Falasifah adalah karena kitab ini, seperti dikatakan DR. Sulaiman Dunya—dengan mengutip pendapat Aristoteles bahwa orang yang mengingkari metafisika adalah berfilsafat metafisis—adalah kitab filsafat juga, setidaknya falsafi al-maudhu’i (bertema filsafat) kalau bukan falsafi al-ghayah (bertujuan filsafat). Di samping itu al-Ghazali dalam kitab itu bersikap sangat hati-hati untuk menggambarkan pemikiran para filossof yang hendak dikritiknya (Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 24-25). Bila kitab itu dibaca dan dipelajari, justru dapat membangkitkan gairah untuk mempelajari filsafat dan berfilsafat (berfikir logis, filosofis dan kritis) dalam memahami agama. Maka, sudah saatnya kitab itu dibaca dan dipelajari dengan baik di lembaga pendidikan-pendidikan Islam, seperti pesantren sehingga menghasilkan intelektual yang produktif dan tidak konsumtif, di samping untuk mengimbangi pemahaman tasawwuf al-Ghazali, sehingga melahirkan pemahaman yang utuh terhadap pemikiran dan karya-karya al-Ghazali RA.

sumber :http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=89

Kamis, 12 Mei 2011

Catatan Perjalanan Emha Ainun

ini contoh puisi religiusnya...

GUSTI,
seperti kapan saja
kami para hamba
tak berada di mana-mana
melainkan di hadapan Mu jua
ini sangat sederhana
tetapi kami sering lupa
sebab mengalahkan musuh-musuh Mu
yang kecil saja, kami tak kuasa

GUSTI,
inilah tawanan Mu
tak berani menengadahkan muka
mripat kami yang terbuka
telah lama menjadi buta
sebab menyia-nyiakan dirinya
dengan hanya menatap hal-hal maya

GUSTI,
cinta kami kepada Mu tak terperi
namun itu tak diketahui
oleh diri kami sendiri
maka tolong ajarilah kami
agar sanggup mengajari diri sendiri
menyebut nama Mu seribu kali sehari
karena meski hanya sehuruf saja dari Mu
takkan tertandingi

GUSTI,
kami berkumpul disini
untuk mengukur keterbatasan kami
melontarkan beratus beribu kata
seperti buih-buih
melayang-layang di udara
diisap kembali oleh Maha Telinga
sehingga tinggal jiwa kami termangu
menunggu ishlah dari Mu
agar jadi bening dan tahu malu
GUSTI,
kami pasrah sepasrah-pasrahnya
kami telanjang setelanjang-telanjangnya
kami syukuri apapun
sebab rahasia Mu agung
tak ada apa-apa yang penting
dalam hidup yang cuma sejenak ini
kecuali berlomba lari
untuk melihat telapak kaki siapa
yang paling dulu menginjak
halaman rumah Mu
GUSTI,
lihatlah
mulut kami fasih
otak kami secerdik setan
jiwa kami luwes
bersujud bagai para malaikat Mu
namun saksikan
adakah hidup kami mampu begitu ?
langkah kami yang mantap dan dungu
hasil-hasil kerja kami yang gagah dan semu
arah mata kami yang bingung dan tertipu
akan sanggupkah melunasi hutang kami
kepada kasih cinta penciptaan Mu ?
GUSTI,
masa depan kami sendiri kami bakar
namun Engkau betapa amat sabar
peradaban kami semakin hina
namun betapa Engkau bijaksana
kelakuan kami semakin nakal
namun kebesaran Mu maha kekal
nafsu kami semakin rakus
tapi betapa rahmat Mu tak putus-putus
kemanusiaan kami semakin dangkal
sehingga Engkau menjadi terlampau mahal
GUSTI,
kamilah pesakitan
di penjara yang kami bangun sendiri
kamilah narapidana
yang tak berwajah lagi
kaki dan tangan ini
kami ikat sendiri
maka hukumlah dan ampuni kami
dan jangan biarkan terlalu lama menanti


***
Puisi ini ditulis oleh penyairnya dengan bahasa yang diusahakan sangat seadanya, yang kira-kira bisa dipahami oleh setiap anak yang baru mengenal sejumlah kata-kata, sebab penyair itu merasa begitu ketakutan bahwa kematiannya akan menjadi sempurna jika ternyata tak seorangpun memahami kata-katanya.



Jangan salah sangka. Ia takut bukan karena kawatir akan kehilangan kepala, melainkan justru ia sangat mendambakan betapa bahagianya kalau pada suatu hari ia kehilangan kepala. Masalahnya - terus terang saja - kepala itu sudah bertengger di atas lehernya hampir tigapuluh tahun. Baginya ini merupakan beban yang teramat berat dan membuat ia merasa tidak normal. Karena teman-temannya yang normal pada umumnya hanya menyangga satu kepala paling lama lima tahun, bahkan ada yang hanya satu dua tahun, malah ada juga yang sesudah dua tiga bulan sudah berganti kepala.



Penyair kita ini sudah menghubungi Tuhan ribuan kali melalui salat, wirit dan tarikat, demi memperoleh kejelasan resmi mengenai keanehan ini. Bahkan sebelum itu sudah ia datangi beratus-ratus dukun, kiai dan kantor ikatan cendekiawan, namun tidak seorangpun sanggup memberinya jawaban yang memuaskan hati. Tuhan sendiri sepertinya terlalu bersabar menyimpan teka-teki ini, bahkan sesekali ia merasakan Tuhan seakan-akan bersikap ogah-ogahan terhadap masalah ini.



Matahari selalu terbit dan tetumbuhan tak pernah berhenti mengembang, tapi itu hanya menambah ketegasan perasaan penyair kita bahwa sesungguhnya yang berlangsung hanyalah kemandegan. Ayam berkokok tiap menjelang pagi, kemudian manusia bangun dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebosanan yang sedemikian merajalela. Alam semesta ini sendiri begitu patuh menggantikan siangnya dengan malam dan menggilirkan malamnya dengan siang, tapi manusia hanya sibuk memproduksi ungkapan yang berbeda untuk kenyataan yang sama, manusia habis waktu dan tenaganya untuk mengulangi kebodohan dan keterperosokan yang sama, meskipun mereka membungkusnya dengan perlambang-perlambang baru sambil ia meyakin-yakinkan dirinya atas perlambang itu.



"Ya, Allah", seru penyair kita ini pada suatu malam yang sunyi, "patahkan leherku agar kepalaku menggelinding ke dalam parit, kemudian persiapkan kepala yang baru yang bisa membuatku hidup kembali !".



Bisa dipastikan Tuhan mendengar doa itu, tetapi siapa yang menjamin bahwa Ia bakal mengabulkannya? Bukankah penyair itu sendiri yang dulu meminta kepalanya yang ini untuk menggantikan kepala yang sebelumnya. Apa jawab penyair kita ini seandainya Tuhan mengucapkan argumentasi begini : "Bagaimana mungkin kuganti kepalamu, sedangkan kepala-kepala lain di tanganKu belum punya pengalaman sama sekali untuk bertindak sebagai kepala ? Bukankah untuk menjadi kepala, segumpal kepala harus memiliki pengalaman sebagai kepala sekurang-kurangnya lima tahun ?".



Penyair kita sangat-sangat menyesal kenapa makhluk Tuhan harus hidup dengan syarat mempunyai kepala. Pada mulanya ia hanya badan saja, badan bulat yang seluruh sisi-sisinya sama. Tapi kemudian karena ia kawatir akan disangka sederajat dengan buah kelapa, maka ia memohon kepada Tuhan serta mengupayakan sendiri pengadaan kepala, lantas kaki dan tangan.



Tetapi ternyata inilah sumber utama malapetaka hidupnya. Pada mulanya kepala itu berendah hati dan patuh kepadanya, karena pada dasarnya kepala itu memang tidak pernah ada seandainya ia tidak meminta kepada Tuhan dan mengadakannya.



Kesalahan pertama yang dilakukan oleh penyair ini adalah meletakkan kepala di bagian atas dari badannya, sehingga badannya itu dengan sendirinya kalah tinggi dibanding kepalanya, dan dengan demikian menjadi bawahannya. Hari-haripun berlalu, sampai pada suatu saat ia menyadari bahwa sang kepala ternyata telah mengambil alih hampir semua perannya. Misalnya soal berpikir, sekarang telah dimonopoli oleh kepala. Apa yang harus ia lakukan, kemana harus melangkah, apa yang boleh dan tidak boleh, ditentukan oleh kepala. Ia sendiri dilarang berpikir karena segala gagasan telah disediakan oleh kepala, sedemikian rupa sehingga ia bukan saja tak boleh berpikir, tapi lama kelamaan ia juga menjadi tidak mampu lagi berpikir.



Dulu ia membayangkan, tangan akan menggenggam fulpen atau senapan, jari-jari hendak mengelupas buah nanas atau menyogoki lubang hidung, dialah yang berhak menentukan. Tapi ternyata ketika ada makanan, yang memerintahkan tangan untuk mengambilnya adalah kepala, kemudia diberikannya kepada mulut yang menjadi aparat sang kepala, sedangkan badannya hanya menampung makanan itu, tanpa ikut mengunyah dan merasakan nikmatnya.



Juga ia yakin bahwa apakah kakinya akan melompati sungai atau dipakai untuk menjungkir badan, dialah yang merancang dan memutuskannya. Tapi sekarang segala sesuatunya menjadi jelas bahwa hak itu telah diambil alih oleh kepala, dan ketika ia mempertanyakan hal itu, tiba-tiba saja tangannya yang memegang pentungan menggebugnya, dan kakinya yang bersatu tebal keras menendangnya.



"Wahai Tuhan, pengasuh badan yang menderita", guman penyair kita dengan nada yang penuh kecengengan, "jikapun tanganMu terlalu suci sehingga jijik untuk berurusan dengan segala yang kotor dalam kehidupan hamba-hambaMu, tolonglah Engkau berkorban sekali ini saja, sentuhlah kepalaku, pegang ia dan cabut dariku, kemudian kuusulkan langsung saja dirikanlah kerajaanMu dan Engkau sajalah yang mulai sekarang bertindak sebagai kepalaku".

EMHA AINUN NADJIB

1994

**
dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan

jika itu merupakan salah satu syarat agar pemimpin-pemimpinku

mulai berpikir untu

k mencari kemuliaan hidup,

mencari derajat tinggi dihadapanMu

sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya



dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan

untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku,

untuk menghalau dengki dari bumi

untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri



dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan

demi membayar rasa malu atas kegagalan menghentikan

tumbangnya pohon-pohon nilaiMu di perkebunan dunia

serta atas ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya

menanam pohon-pohonMu yang baru



ambillah hidupku sekarang juga,

jika itu memang diperlukan untuk mengongkosi tumbuhnya ketulusan hati,

kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia



hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini,

jadikan duka deritaku ini makanan

bagi kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan,

asalkan sesudah kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMu



jika untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di hati satu orang hambaMu

diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah

potonglah sepuluh batangku, kemudian tumbuhkan sepuluh berikutnya

seratus berikutnya dan seribu berikutnya,

sehingga lubuk jiwa beribu-ribu hambaMu

menjadi terang benderang karena keikhasan



jika untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan

dibutuhkan kekalahan pada hambaMu yang lain,

maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu

ia menundukkan wajahnya dihadapanMu



jika untuk mengusir muatan kedunguan dibalik kepandaian hambaMu

diperlukan kehancuran pada hambaMu yang lain,

maka hancurkan dan permalukan aku,

asalkan kemudian Engkau tanamkan kesadaran fakir dihatinya



jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan

bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya,

maka sengsarakanlah aku

jika jalan mizanMu di langit dan bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku,

maka unggulkan mereka, tinggikan derajat mereka di atasku

jika syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu

adalah penyadaran akan kegelapan, maka gelapkan aku,

demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu



demi Engkau wahai Tuhan yang aku ada kecuali karena kemauanMu,

aku berikrar dengan sungguh-sungguh

bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang aku dambakan,

bukan keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan,

serta bukan kebahagiaan dan kekayaan yang kuhauskan



demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku,

aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat,

hidupku hanyalah memandangMu

sampai kembali hakikat tiadaku

EMHA AINUN NADJIB

DARI KUMPULAN PUISI "DOA MOHON KUTUKAN" – 1994

**
tombo ati iku ono limang perkoro

kaping pisan, moco Qur'an sa'maknane
kaping pindo, sholat wengi lakonono
kaping telu, wong kang sholeh kumpulono
kaping papat, wetengiro ingkang luwe
kaping limo, dzikir wengi ingkang suwe

salah akwijine sopo biso ngelakoni
insya Allah Gusti Pangeran ngijabahi

**
Delapan hal menjadi hiasan
Bagi delapan macam kegiatan
Waspada, menjadi hiasan bagi kefakiran
Bersyukur, menjadi hiasan bagi kenikmatan
Bersabar, mnejadi hiasan bagi cobaan
Rendah hati, bagi nilai luhur kepribadian
Bijaksana bagi ilmu pengetahuan
Sikap rendah hati, bagi ilmuwan
Disiplin diri, bagi upaya perbaikan
Dan khusyu' pada saat menhadap Tuhan

Tuhanku
betapa bisa kuusapkan tanganku
di lutut Mu yang Maha Rahasia
betapa bisa kuwujudkan cintaku,
jika hati hanya benda.
Tuhanku
Engkau berada di luar
segala yang kubayangkan
meskipun kutahu
Engkau juga berada di dalam.
duh, betapa bisa kupahamkan!
Tuhanku,
bawalah di tangan Mu
diriku yang dungu.

Orang yang tak suka banyak bicara
Maka ia akan meraih derajat kebijakan
Orang yang tak suka banyak pilihan
Ia akan meraih titik ketenangan
Orang yang tak suka banyak makan
Ia akan meraih nikmatnya kebaktian
Orang yang tak suka banyak tertawa
Ia akan meraih cahaya kewibawaan.

Keniscayaan orang-orang berakal
Memilih tujuh perkara melebihi tujuh hal
Lebih baik fakir daripada kaya
Lebih baik dihina daripada dipuja
Lebih baik bersikap rendah hati daripada tinggi hati
Lebih baik kelaparan daripada kekenyangan
Lebih baik kesusahan daripada lupa daratan
Lebih baik direndahkan daripada diagung-agungkan
Dan lebih baik mati berdarma daripada hidup tiada guna.

Apabila seseorang telah dianugerahi
Sepuluh anugerah dari Ilahi
Sungguh ia telah dilindungi
Dari malapetaka yang menyelimuti
Dan termasuk hamba yang dekat dengan Ilahi
Serat memperoleh penghargaan "orang suci"
Pertama, kejujuran abadi disertai ketulusan hati
Kedua, kesabaran sempurna disertai
rasa syukur sepanjang masa
Ketiga, kondisi fakir disertai sikap zuhud
yang selalu hadir
Keempat, tafakur tentang mahluk
disertai lapar yang mengetuk
Kelima, kegelisahan jiwa disertai ketakwaan
pada Sang Esa
Keenam, kesungguhan hati disertai
sifat rendah hati
Ketujuh, ramah tamah disertai dayang
dan penuh kasih
Kedelapan, cinta sejati disertai upaya mawas diri
Kesembilan, ilmu manfaat disertai
kemauan ntuk berbuat
Kesepuluh, iman yang teguh disertai akal yang kukuh.

**
BUKAN KARENA INGIN
Emha Ainun Nadjib

Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi Presiden.

Saya yakin Anda sebenernya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi Camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.

Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.

Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukumNya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib"--bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.

Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.

Detailnya : oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang puinya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa di antara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.

Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia'--maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal--saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.

Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.

Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menyulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan TUhan yang menyembuhkan), atau apapun saja--sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yyang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).

Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Maha Kuasa.

Quoted by Redaksi from :
"Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan", Emha Ainun Nadjib, Zaituna, Jogja, 1999.

88

Tuhanku
tanami ladangku
dengan keinsyafan Adam
ketahanan Nuh
kecerdasan Ibrahim
ketulusan Ismail
kebersahajan Ayyub
kearifan Ya'kub
keadilan Daud
keperkasaan Sulaiman
kesabaran Yunus
kelapangan Yusuf
kesungguhan Musa
kefasihan Harun
kebeningan Khidhir
kesucian Isa
kematangan Muhammad
Tuhanku
tanami ladangku Tuhanku

Quoted by Redaksi from
"99 Untuk Tuhanku",
Emha Ainun Nadjib,
Pustaka, Bandung, 1983, cet.i


**
Hijrah dan Kultus Individu

Oleh EMHA Ainun Nadjib

Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni
oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun
ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap
berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.

Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si
pembeli menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang
ingus, buang air besar, melakukan transaksi, banking, ekspor
impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja, adalah hijrah.

Inti ajaran Islam adalah hijrah. Icon Islam bukan Muhammad,
melainkan hijrah. Muhammad hanya utusan, dan Allah dulu bisa
memutuskan utusan itu Darsono atau Winnetou, tanpa ummat
manusia men-demo Tuhan kenapa bukan Muhammad. Oleh karena itu
hari lahirnya Muhammad saw. Tidak wajib diperingati. Juga
tidak diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir
Muhammad kita ingat dan selenggarakan peringatannya
semata-mata sebagai peristiwa cinta dan ucapan terima kasih
atas jasa-jasanya melaksanakan perintah Tuhan.

12 Rabiul Awal bukan hari besar Islam sebagaimana Natal bagi
ummat Kristiani. Sekali lagi, itu karena Islam sangat
menghindarkan ummatnya dari kultus individu. Wajah Muhammad
tak boleh digambar. Muhammad bukan founding father of islam.
Muhammad bukan pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan.
Tahun Masehi berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, sementara
Tahun Hijriyah berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, yang
merupakan momentum terpenting dari peta perjuangan nilainya.
Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari penyembahan
individu, membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran --
siapa pun dulu yang diutus oleh Tuhan untuk membawanya.
Hijrah adalah pusat jaring nilai dan ilmu. Dari gerak dalam
fisika dan kosmologi hingga perubahan dan transformasi dalam
kehidupan sosial manusia. Manusia Muslim tinggal bersyukur
bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa langsung
dipakai untuk mempermatang cara memasak makanan, cara
menangani pendidikan anak-anak, cara mengurus organisasi dan
negara.

Hijrah Muhammad saw. dan kaum Anshor ke Madinah, di samping
merupakan pelajaran tentang pluralisme politik dan budaya,
juga bermakna lebih esoterik dari itu.

Peristiwa Isra' Mi'raj misalnya, bisa dirumuskan sebagai
peristiwa hijrah, perpindahan, atau lebih tepatnya
transformasi, semacam proses perubahan atau 'penjelmaan' dari
materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya.

Sebenarnya sederhana saja. Kalau dalam ekonomi: uang itu
materi, kalau diputar atau digerakkan atau 'dilemparkan' maka
menjadi enerji. Itu kejadian isro' namanya. Tinggal kemudian
enerji ekonomi itu akan digunakan (dimi'rajkan) untuk
keputusan budaya apa. Kalau sudah didagangkan dan labanya
untuk beli motor: motornya dipakai untuk membantu anak sekolah
atau sesekali dipakai ke tempat pelacuran.

Di dalam teknologi, tanah itu materi. Ia bisa
ditransformasikan menjadi genting atau batu-bata. Logam
menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik, atau apapun.
Tinggal untuk apa atau ke mana mi'rajnya.

Peristiwa isro' bergaris horisontal. Negara-negara
berteknologi tinggi adalah pelopor isro' dalam pengertian ini.
Pertanyaannya terletak pada garis vertikal tahap mi'raj
sesudahnya. Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau
menjadi cahaya. Artinya produk-produk teknologi didayagunakan
untuk budaya kehidupan manusia dan masyarakat yang menyehatkan
jiwa raga mereka dunia akhirat. Kalau garis vertikalnya ke
bawah, berati transform ke atau menjadi kegelapan. Mesiu Cina
diimport ke Eropa menjadi peluru, meriam dan bom. Kita bisa
dengan gampang menghitung beribu macam produk teknologi isro'
pemusnah manusia, perusak mental dan moral masyarakat.

Dalam pengertian umum dan baku selama ini, Isra' Mi'raj selain
merupakan peristiwa besar dalam sejarah, namun pada umumnya
berhenti sebagai wacana dongeng, dan belum digali
simbol-simbol berharganya atas idealitas etos tranformatif.

Dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan rumus di atas,
segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia-baik di
bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya-terjadi
secara berputar membentuk bulatan. Yang sehari-hari sajapun:
badan kita (materi), tentu, jika tidak diolah-ragakan
(dienergikan), mengakibatkan tidak sehat. Tidak sehat adalah
kegelapan.

Setelah badan kita sehat dan menyehatkan, lantas dipergunakan
untuk kegiatan yang baik, yang memproduk cahaya bagi batin
kehidupan kita, serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi sesama
manusia dan alam-lingkungan.

**

Kamis, 05 Mei 2011

Kitab Safinatunnajah bagian 3

متن سفينة النجاة


في أصول الدين والفقه
للشيخ العالم الفاضل : سالم بن سمير الحضرمي
على مذهب الإمام الشافعي
نفعنا الله بعلومه آمين


(فصل)الذي يلزم للميت أربع خصال : غسلة وتكفينة والصلاة علية ودفنه .

(فصل)أقل الغسل : تعميم بدنه بالماء. وأكمله أن يغسل سوأتيه وأن يزيل القذر من أنفه وأن يوضئه وأن يدلك بدنه بالسدر وأن يصب الماء عليه ثلاثا.
(فصل) أقل الكفن : ثوب يعمه.، وأكمله للرجال ثلاث لفائف ، وللمرأة قميص وخمار وإزار ولفافتان .

(فصل) أركان صلاة الجنازة سبعة :الأول النية ،الثاني أربع تكبيرات ، الثالث القيام على القادر ، الرابع قراءة الفاتحة ،الخامس الصلاة على النبي صلى الله علية وسلم بعد الثانية،السادس الدعاء للميت بعد الثالثة ،السابع السلام

(فصل)أقل الدفن : حفرة تكتم رائحته وتحرسه من السباع .وأكمله قامة وبسطة، ويوضع خده على التراب ويجب توجيهه إلى القبلة .

(فصل) ينبش الميت لأربع خصال : للغسل إذا لم يتغير ولتوجيهه إلى القبلة وللمال إذا دفن معه ، والمرأة إذا دفن جنينها وأمكنت حياته

(فصل) الإستعانات أربع خصال : مباحة وخلاف الأولى ومكروهه وواجبة فالمباحة هي تقريب الماء ، وخلاف الأولى هي صب الماء على نحو المتوضئ ،والمكروهه هي لمن يغسل أعضاءه ، والواجبة هي للمريض عند العجز.

(فصل) الأموال التي تلزم فيها الزكاة ستة أنواع: النعم والنقدان والمعشرات وأموال التجارة ، وواجبها ربع عشر قيمة عروض التجارة والركاز والمعدن.

(فصل) يجب صوم رمضان بأحد أمور خمسة : (أحدها ) بكمال شعبان ثلاثين يوما (وثانيها) برؤية الهلال في حق من رآه وان كان فاسقا (وثالثا) بثبوته في حق من لم يره بعدل شهادة (ورابعا) بإخبار عدل رواية موثوق به سواء وقع في القلب صدق أم لا أوغيره موثوق به إن وقع في القلب صدقه (وخامسها) بظن دخول رمضان بالإجتهاد فيمن اشتبه عليه ذلك .

(فصل) شروط صحته أربعة أشياء : إسلام وعقل ونقاء من نحو حيض وعلم بكون الوقت قبلا للصوم .

(فصل) شروط وجوبه خمسة اشياء : اسلام وتكليف وإطاقة وصحه وإقامة .

(فصل)أركانه ثلاثة أشياء: نية ليلا لكل يوم في الفرض وترك مفطر ذاكرا مختارا غير جاهل معذور وصائم .

(فصل) يجب مع القضاء للصوم الكفارة العظمى والتعزير على من أفسد صومه في رمضان يوما كاملا بجماع تام آثم به للصوم
ويجب مع القضاء الإمساك للصوم في ستة مواضع:الأول في رمضان لافي غيره على متعد بفطره، والثاني على تارك النية ليلا في الفرض، والثالث على من تسحر ظانا بقاء الليل فبان خلافة أيضا ، والرابع على من افطر ظانا الغروب فبان خلافه ايضا ، والخامس على من بان له يوم ثلاثين من شعبان أنه من رمضان ، والسادس على من سبقه ماء المبالغة من مضمضة واستنشاق

(فصل) يبطل الصوم : بردة وحيض ونفاس أو ولادة وجنون ولو لحظة وبإغماء وسكر تعدى به إن عمَّا جميع النهار

(فصل) الإفطار في رمضان أربعة انواع: واجب كما في الحائض والنفساء، وجائز كما في المسافر والمريض ولاولاكما في المجنون، ومحرم كمن أخر قضاء رمضان تمكنه حتى ضاق الوقت عنه .
وأقسام الإفطار أربعة : أيضا ما يلزم فية القضاء والفدية وهو اثنان:الأول الإفطار لخوف على غيرة ، والثاني الإفطار مع تأخير قضاء مع إمكانه حتى يأتي رمضان آخر ، وثانيها مايلزم فية القضاء دون الفدية وهو يكثر كمغمى علية ، وثالثهما ما يلزم فيه الفدية دون القضاء وهوشيخ كبير ، ورابعها لا ولا وهو المجنون الذي لم يتعد بجنونه .

(فصل) الذي لا يفطِر مما يصل إلى الجوف سبعة أفراد : مايصل إلى الجوف بنسيان أو جهل أو إكراة وبجريان ريق بما بين أسنانه وقد عجز عن مجه لعذره وما وصل إلى الجوف وكان غبار طريق ، وما وصل إلية وكان غربلة دقيق ، أوذبابا طائرا أو نحوه .
والله اعلم بالصواب نسأل الله الكريم بجاه نبيه الوسيم، أن يخرجني من الدنيا مسلما، ووالدي وأحبائي ومن إلي انتمي، وان يغفر لي ولهم مقحمات ولمما ، وصلى الله على سيدنا محمد بن عبد الله بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف رسول الله إلى كافة الخلق رسول الملاحم ،حبيب الله الفاتح الخاتم ،وآله وصحبه أجمعين والحمد لله رب العالمين .
تم بعون الله تعالى متن سفينة النجاة.


(Lanjutan dari bagian kedua)

(BAB IV)
“Jenazah”

(Fasal Satu)
pertama: Kewajiban muslim terhadap saudaranya yang meninggal dunia ada empat perkara, yaitu:
1. Memandikan.
2. Mengkafani.
3. Menshalatkan (sholat jenazah).
4. Memakamkan .

(Fasal Kedua)
Cara memandikan seorang muslim yang meninggal dunia:
Minimal (paling sedikit): membasahi seluruh badannya dengan air dan bisa disempurnakan dengan membasuh qubul dan duburnya, membersihkan hidungnya dari kotoran, mewudhukannya, memandikannya sambil diurut/digosok dengan air daun sidr dan menyiramnya tiga (3) kali.

(Fasal Ketiga)
Cara mengkafan:
Minimal: dengan sehelai kain yang menutupi seluruh badan. Adapun cara yang sempurna bagi laki-laki: menutup seluruh badannya dengan tiga helai kain, sedangkan untuk wanita yaitu dengan baju, khimar (penutup kepala), sarung dan 2 helai kain.

(Fasal Keempat)
Rukun shalat jenazah ada tujuh (7), yaitu:
1. Niat.
2. Empat kali takbir.
3. Berdiri bagi orang yang mampu.
4. Membaca Surat Al-Fatihah.
5. Membaca shalawat atas Nabi SAW sesudah takbir yang kedua.
6. Do’a untuk si mayat sesudah takbir yang ketiga.
7. Salam.

(Fasal Kelima)
Sekurang-kurang menanam (mengubur) mayat adalah dalam lubang yang menutup bau mayat dan menjaganya dari binatang buas. Yang lebih sempurna adalah setinggi orang dan luasnya, serta diletakkan pipinya di atas tanah. Dan wajib menghadapkannya ke arah qiblat.

(Fasal Keenam)
Mayat boleh digali kembali, karena ada salah satu dari empat perkara, yaitu:
1. Untuk dimandikan apabila belum berubah bentuk.
2. Untuk menghadapkannya ke arah qiblat.
3. Untuk mengambil harta yang tertanam bersama mayat.
4. Wanita yang janinnya tertanam bersamanya dan ada kemungkinan janin tersebut masih hidup.

(Fasal Ketujuh)
Hukum isti’anah (minta bantuan orang lain dalam bersuci) ada empat (4) perkara, yaitu:
1. Boleh.
2. Khilaf Aula.
3. Makruh
4. Wajib.
Boleh (mubah) meminta untuk mendekatkan air.
Khilaf aula meminta menuangkan air atas orang yang berwudlu.
Makruh meminta menuangkan air bagi orang yang membasuh anggota-anggota (wudhu) nya.
Wajib meminta menuangkan air bagi orang yang sakit ketika ia lemah (tidak mampu untuk melakukannya sendiri).


(BAB V)
“Zakat”

(Fasal Satu)
Harta yang wajib di keluarkan zakatnya ada enam macam, yaitu:
1. Binatang ternak.
2. Emas dan perak.
3. Biji-bijian (yang menjadi makanan pokok).
4. Harta perniagaan. Zakatnya yang wajib di keluarkan adalah 4/10 dari harta tersebut.
5. Harta yang tertkubur.
6. Hasil tambang.


(BAB VI)
“Puasa”

(Fasal Satu)
Puasa Ramadhan diwajibkan dengan salah satu ketentuan-ketentuan berikut ini:
1. Dengan mencukupkan bulan sya’ban 30 hari.
2. Dengan melihat bulan, bagi yang melihatnya sendiri.
3. Dengan melihat bulan yang disaksikan oleh seorang yang adil di muka hakim.
4. Dengan Kabar dari seseorang yang adil riwayatnya juga dipercaya kebenarannya, baik yang mendengar kabar tersebut membenarkan ataupun tidak, atau tidak dipercaya akan tetapi orang yang mendengar membenarkannya.
5. Dengan beijtihad masuknya bulan Ramadhan bagi orang yang meragukan dengan hal tersebut.

(Fasal Kedua)
Syarat sah puasa ramadhan ada empat (4) perkara, yaitu:
1. Islam.
2. Berakal.
3. Suci dari seumpama darah haidh.
4. Dalam waktu yang diperbolehkan untuk berpuasa.

(Fasal Ketiga)
Syarat wajib puasa ramadhan ada lima perkara, yaitu:
1. Islam.
2. Taklif (dibebankan untuk berpuasa).
3. Kuat berpuasa.
4. Sehat.
5. Iqamah (tidak bepergian).

(Fasal Keempat)
Rukun puasa ramadhan ada tiga perkara, yaitu:
1. Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan.
2. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa ketika masih dalam keadaan ingat, bisa memilih (tidak ada paksaan) dan tidak bodoh yang ma’zur (dima’afkan).
3. Orang yang berpuasa.

(Fasal Kelima)
Diwajibkan: mengqhadha puasa, kafarat besar dan teguran terhadap orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan satu hari penuh dengan sebab menjima’ lagi berdosa sebabnya .
Dan wajib serta qhadha: menahan makan dan minum ketika batal puasanya pada enam tempat:
1. Dalam bulan Ramadhan bukan selainnya, terhadap orang yang sengaja membatalkannya.
2. Terhadap orang yang meninggalkan niat pada malam hari untuk puasa yang Fardhu.
3. Terhadap orang yang bersahur karena menyangka masih malam, kemudian diketahui bahwa Fajar telah terbit.
4. Terhadap orang yang berbuka karena menduga Matahari sudah tenggelam, kemudian diketahui bahwa Matahari belum tenggelam.
5. Terhadap orang yang meyakini bahwa hari tersebut akhir Sya’ban tanggal tigapuluh, kemudian diketahui bahwa awal Ramadhan telah tiba.
6. Terhadap orang yang terlanjur meminum air dari kumur-kumur atau dari air yang dimasukkan ke hidung.

(Fasal Keenam)
Batal puasa seseorang dengan beberapa macam, yaitu:
- Sebab-sebab murtad.
- Haidh.
- Nifas.
- Melahirkan.
- Gila sekalipun sebentar.
- Pingsan dan mabuk yang sengaja jika terjadi yang tersebut di siang hari pada umumnya.

(Fasal Ketujuh)
Membatalkan puasa di siang Ramadhan terbagi empat macam, yaitu:
1. Diwajibkan, sebagaimana terhadap wanita yang haid atau nifas.
2. Diharuskan, sebagaimana orang yang berlayar dan orang yang sakit.
3. Tidak diwajibkan, tidak diharuskan, sebagaimana orang yang gila.
4. Diharamkan (ditegah), sebagaimana orang yang menunda qhadha Ramadhan, padahal mungkin dikerjakan sampai waktu qhadha tersebut tidak mencukupi.

Kemudian terbagi orang-orang yang telah batal puasanya kepada empat bagian, yaitu:
1. Orang yang diwajibkan qhadha dan fidyah, seperti perempuan yang membatalkan puasanya karena takut terhadap orang lain saperti bayinya. Dan seperti orang yang menunda qhadha puasanya sampai tiba Ramadhan berikutnya.
2. Orang yang diwajibkan mengqhadha tanpa membayar fidyah, seperti orang yang pingsan.
3. Orang yang diwajibkan terhadapnya fidyah tanpa mengqhadha, seperti orang yang sangat tua yang tidak kuasa.
4. Orang yang tidak diwajibkan mengqhadha dan membayar fidyah, seperti orang gila yang tidak disengaja.

(Fasal Kedelapan)
Perkara-perkara yang tidak membatalkan puasa sesudah sampai ke rongga mulut ada tujuh macam, yaitu:
1. Ketika kemasukan sesuatu seperti makanan ke rongga mulut denga lupa
2. Atau tidak tahu hukumnya .
3. Atau dipaksa orang lain.
4. Ketika kemasukan sesuatu ke dalam rongga mulut, sebab air liur yang mengalir diantara gigi-giginya, sedangkan ia tidak mungkin mengeluarkannya.
5. Ketika kemasukan debu jalanan ke dalam rongga mulut.
6. Ketika kemasukan sesuatu dari ayakan tepung ke dalam rongga mulut.
7. Ketika kemasukan lalat yang sedang terbang ke dalam rongga mulut.


Tamat…

Wallaohu a’lam bishshowaab


Kemudian kami akhiri dengan meminta kepada Tuhan Yang Karim , dengan berkah beginda kita Nabi Muhammad Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam yang wasim , supaya mengakhiri hidupku dengan memeluk agama Islam, juga orang tuaku, orang yang aku sayangi dan semua keturunanku. Dan mudah-mudahan ia mengampuniku serta mereka segala kesalahan dan dosa.

Semoga rahmat Tuhan selalu tercurah keharibaan junjungan kita Nabi Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Mutholib bin Abdi Manaf bin Hasyim yang menjadi utusan Alloh kepada sekalian makhluk Rosulul malahim, kekasih Alloh yang membuka pintu rahmat, menutup pintu kenabian, serta keluarga dan sahabat sekalian. Walhamdu lillaahi Robbil ’Aalamin...

Source; tetesanhujan.wordpress.com

Tags: ta'lim wa ta'lum, kajian kitab salaf
Prev: Kitab Safinatunnajah bagian 2